BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem pembelajaran konvensional hanya menekan pada transfer of
knowledge yang berimplikasi pada pembelajan di kelas dan buku pelajaran,
dengan demikian sistem hapalan berorientasi dalam pendekatan ini. Sehingga
siswa yang belajar hanya mengenal teori dan jauh dari realitas yang di ajarkan.
Berdasarkan pengalaman di atas maka berbagai macam model pembelajaran di
terapkan oleh para ahli guna membuat siswa secara langsung mengenal dunia yang
mereka pelajari. Dengan demikian lahirlah apa yang kita kenal saat ini dengan
pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
yang berakar pada pendekatan konstruktivisme.
Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya
siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami
materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran
itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran
dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan akan
tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Dari ketiga kandungan CTL di atas model pembelajaran
ini bertujuan untuk membuat siswa lebih anteraktif dalam pembelajaran, karena
mereka ukan lagi sebagai objek pembejalajaran melainkan sebagai siswa yang
aktif dalam memahami dunianya lewat proses belajar. Dalam hal ini pungsi guru
bukan lagi sebagai pusat informasi yang di butuhkan oleh siswa melainkan
sebagai fasilitator, instruktor dan lain sebagainya. Dengan demikian jelaslah
tujuan dari pembelajaran ini selain membuat siswa lebih mengenali dunia nyata
sekaligus mereka menjadi subjek dalam proses belajar mengajar yang aktif.
Sedikit penjelasan di atas adalah gambaran mengenai
kandungan dari CTL ini, karenanya sangat perlu untuk lebih memahami hakikat
dari model pembelajaran ini, baik berupa konsep dasar, konten yang terkandung
di dalamnya serta bagaimana pengaplikasian dari model pembelajaran ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasaekan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat di tarik
adalah sebagai berikut:
- Bagaimanakah konsep dasar Contextual Teaching and
Learning (CTL) dalam pembelajaran di sekolah?
- Bagaimanakah pengaplikasian model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran di sekolah?
- Bagaimanakah model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) mampu membuat suasana yang interaktif dalam proses
pembelajar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran Kontekstual
Sesuai dengan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena
peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada
aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena
pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti
keterkaitan Stimulus dan Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar
melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan
kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari
adanya dorongan yang berkembang dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental
perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi
yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan
fisik itu. Mengapa demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang
melekat dalam dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk
berperilaku. Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat
beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut
Sanjaya (2005:114) antara lain:
a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan
sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak
pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
b. Belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu
pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan
pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia,
seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk
penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan
mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah
anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan
tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar
bagaimana anak menghadapi persoalan.
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap
dari sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat
sekaligus, akan tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
Belajar pada hakikatnya adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh
karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna
untuk kehidupan anak (Real World Learning)’ Selanjutnya Sanjaya (2005:115)
memberikan penjelasan perbedaan CTL dengan pembelajaran konvensional, antara
lain:
1. CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif
dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri
materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan
sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2. Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti
kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam
pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan
menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
3. Dalam CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan
abstrak.
4. Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran
konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
5. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri;
sedangkan dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
6. Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri,
misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa
perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar
dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman,
atau sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
7. Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang
sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa
terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam
pembelajaran konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang
dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh
orang lain.
8. Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan
mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
9. Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam
konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam
pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
10.
Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh
aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur
dengan berbagai cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa,
penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya; sedangkan dalam
pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari
tes.
Berdasarkan perbedaan pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki
karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan
pengelolaannya. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu
memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya
mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional
hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai
proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117)
sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
a. Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang
dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam
tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat
perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai
instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
b. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan
memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam
memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
c. Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan
antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian
peran guru adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara
pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
d. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada
(asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian
tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses
asimilasi dan proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh
anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan
tetapi dari proses penemukan dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus
menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang
siswa sebagai subjek belajar dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme
aktif yang memiliki potensi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun
guru memberikan informasi kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk
menggali informasi itu agar lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas.
Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL. Komponen tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri,
bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), penilaian nyata (authentic assessment).
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme,
pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari
dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting,
yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk
menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor itu sama pentingnya. Dengan
demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis,
tergantung individu yang melihat dan mengonstruksinya. Piaget menyatakan
hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi
selalu merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar siswa dapat
mengonstruksi pengetahuan melalui proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua
dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan
pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.
Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil
dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru
bukanlah mempersiapkan materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus
dipahaminya. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak
terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah diharapkan siswa
berkembang secara utuh baik intektual, mental emosional maupun pribadinya.
Apakah inkuiri hanya bias dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja?
Tentu tidak. Berbagi topik dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui
proses inkuiri. Secara umum proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa
langkah yaitu: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data,
menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan
Penerapan asas ini dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran
siswa akan masalah yang jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa
harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan
batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau
jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah
yang akan menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan
data. Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui
hipotesis sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning). Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan
menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari
keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan
kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru
tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa
dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab
melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan
setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran; (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran; (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar; (3) merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu; (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan; dan (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan (modeling). Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan
menggunakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru
memberikan contoh bagaimana cara mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana
cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana
cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat
musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer
dan lain sebagainya.
Proses modelling, tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga
guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang
pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan
kebolehannya di depan teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap
sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran
CTL, sebab melalui modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang
teoretis-abstrak yang memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi (reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang
telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi,
pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada
akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi
melalui proses refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah
dibentuknya, atau menambah khazanah pengetahuannya.
Dalam setiap proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir
proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’
atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas
siswa menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang
pengalaman belajarnya.
Ketujuh, penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang
dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang
dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar
belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang
positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian
autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian
ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil
belajar.
B. Pembelajaran Interaktif
Kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta
didik, pendidik atau guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar
yang digunakan, media pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi
kemajuan belajar siswa menggunakan tes yang standar. Semua komponen ini saling
berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran.
Karena itu kegiatan pembelajaran merupakan suatu sistem yang integral, dalam
suatu sistem pembelajaran atau sistem instruksional di sekolah. Dilihat dari
sudut institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas
pembelajaran, kepala sekolah memainkan peran cukup penting, karena
berkontribusi signifikan terhadap perolehan suatu sistem belajar. Meskipun
setiap guru mempunyai kemampuan professional yang tinggi dalam melaksanakan
tugas profesionalnya, tetapi tidak didukung pelayanan institusional yang
memadai, tentu saja kegiatan pembelajaran itu tidak akan maksimal.
Peran kepala sekolah untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan
pembinaan pertumbuhan jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya
menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya.
Setelah guru mendapat dukungan institusional, hal selanjutnya yang perlu
dipersiapkan oleh guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi
otonom profesional keguruan. Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan
telah banyak menyampaikan sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran.
Pendekatan ini pada umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan
dengan kemampuan peserta didik untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam
kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting,
karena dilihat dari sudut psikologi setiap anak mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan yang sesuai
dengan potensi anak didik.
Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksankan
pendekatan serta metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor yang
turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut
bertitik tolak pada aspek psikologis dilihat dari pertumbuhan daan perkembangan
anak, kemampuan intelektual, dan kemampuan lainnya yang mendukung kemampuan
belajar. Pendekatan ini dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat untuk
memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan
tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan
disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan
pembelajaran. Adapun pendekatan pembelajaran interaktif yang sudah umum dipakai
oleh para guru menurut Sagala (2003:71) antara lain pendekatan konsep dan
proses, deduktif-induktif, ekspositori dan heuristic, dan pendekatan
kecerdasan.
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung
menyajikan konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati
bagaimana konsep itu diperoleh. Konsep merupakan buah pikiran seseorang atau
kelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk
pengetahuan meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta,
peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak, kegunaan
konsep untuk menjelaskan dan meramalkan.
Konsep menunjukkan suatu hubungan antar konsep yang lebih sederhana sebagai
dasar perkiraan atau jawaban manusia terhadap pertanyaan yang bersifat asasi
tentang mengapa suatu gejala itu bisa terjadi. Konsep merupakan pikiran
seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menjadi
produk pengetahuan yang meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari
fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep
dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru,
sedangkan kegunaan konsep adalah menjelaskan dan meramalkan. Fravell (1970)
menyarankan, bahwa pemahaman terhadap konsep dapat dibedakan dalah tujuh
dimensi yaitu atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan,
generalitas/keumuman, ketepatan dan kekuatan.
Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan
kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atrau penyusunan suatu
konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada
belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep belajar menurut teori
‘’Naturalisme-Romantis’’ dan teori ‘’Kognitif Gestalt’’. Naturalisme-Romantis
menekankan kepada aktivitas siswa, sedangkan kognitif Gestalt menekankan
pemahaman dan kesatupaduan yang menyeluruh. Pendekatan proses dalam
pembelajaran dikenal pula sebagai keterampilan proses, guru menciptakan bentuk
kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa terlibat dalam berbagai
pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri
suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran,
perhitungan, dan membuat kesimpulan sendiri.
Dalam pembelajaran proses ini, siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi
juga dari sesama temannya, dan dari manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan
yang dapat dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan
proses adalah: (1) mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan
sifat-sfat yang sama, serupa; (3) mengukur besaran-besaran yang bersangkutan;
(4) mencari hubungan antar konsep yang ada; (5) mengenal adanya suatu masalah,
merumuskan masalah; (6) memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan
hipotesa; (7) meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi; (8) berlatih
menggunakan alat ukur; (9) melakukan percobaan; (10) mengumpulkan, menganalisis
dan menafsirkan data; (11) berkomunikasi; dan (12) mengenal adanya variabel,
mengendalikan suatu variabel.
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum
kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan
aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan,
prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan
dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep,
prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekataan deduktif; (2) menyajikan
aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3)
disajikan contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan
khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti untuk menunjang
atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari
keadaan umum. Sedangkan pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh
Filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan
didasarkan atas fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem isi dipandang
sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara
induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja
tanpa diteliti secara rasional.
Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung
dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri atau sifat tertentu dari
berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat
itu terdapat pada semua jenis fenomena. Langkah-langkah yang dapat digunakan
dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan
disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh khusus konsep,
prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat
umum yang terkandung dalam contoh itu; (3) disajikan bukti yang berupa contoh
tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun
pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah
yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa
belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan
mengoperasikan kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis,
asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat
kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang
sebagai ‘rule’ (prinsip, dalil, aturan, hukum, akidah dan sebagainya).
Pendekatan Ekspositori, berpandangan bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran
pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Hakekat mengajar
menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa
dipandang sebagai objek yang menerima apa saja yang diberikan guru. Biasanya
guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan
dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istailah kuliah, ceramah, dan
lecture. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat
informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkap kembali apa yang
dimilikinya melalui respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh
guru.
Pendekatan Heuristik adalah merancang pembelajaran dari berbagai aspek dari
pembentukan sistem instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik
mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan.
Pendekatan heuristic adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah data
dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut,
implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan data metode
inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan, bahwa materi suatu bidang
studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitannya antara materi tersebut. Dengan
pendekatan heuristic dapat mendorong peserta didik bersikap berani untuk
berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri.
Pendekatan kecerdasan, guru harus mengetahui kecerdasan siswanya agar dapat
menolong kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu
guru tidak melakukannya sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh
konselor yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian yang memadai.
Bagi sekolah yang berada di perkotaan dan tersedia psikolog, maka dapat
dimintakan bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes kecerdasan,
dengan demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat
disesuaikan dengan kemampuan siswa oleh guru. Munzert, A.W. (1994) mengartikan
kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban,
penyelesaian, dan kemampuan memecahkan masalah.
Intelegensi dapat dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan
mencapai prestasi yang di dalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dari
tingkah laku seseorang, pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya
apakah orang itu cerdas, cerdik, pintar atau sebaliknya bodoh dan lamban.
Walaupun untuk memperoleh informasi yang lebih dapat dipercaya melalui tes
kecerdasan melalui uji psikotes oleh ahli psikologi. Tingkah laku yang
inteligen oleh sejumlah ciri sebagai berikut: (1) tingkah laku yang siap
melakukan perubahan yang perlu terhadap kondisi baru, tidak kaku; (2) tingkah
laku yang bertujuan; (3) tingkah laku yang cepat, reaksi yang segera; (4)
tingkah laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang baik antara kondisi
pribadi dalam lingkungan yang memecahkan persoalan; (5) tingkah laku yang
dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang success
oriented.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan
beberapa hal berikut ini:
1. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran
yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia
kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari,
peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang
mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
2. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah
memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai
sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi
pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran
yang memungkinkan peserta didik belajar. Lingkungan yang kondusif sangat
penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan
pembelajaraan secara keseluruhan.
3. Pembelajaran interaktif, guru harus menyadari bahwa
pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek
pedagogis, psikologis dan didaktis secara bersamaan. Caranya guru dengan
menggunakan pendekatan pemberian pemahaman kepada siswa, pemberian informasi
dan pendekatan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi oleh siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati danMudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. 1974. The Study of Teaching. New York:
Rinehart and Wsiton Inc.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK.
Bandung: Rosda.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogyakarta: Prisma
Sophie.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu
Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Bandung: Fajar Interpratama Offset.
Sudjana, D. 2001. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung:
Falah Production.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar