BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengelolaan kelas merupakan suatu usaha yang dilakukan
oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar (pengajar) atau yang membantu
dengan maksud agar dicapai kondisi optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan
belajar seperti yang diharapkan. Dalam pengelolaan kelas ini kita membutuhkan
beberapa pendekatan yang dapat digunakan agar tujuan pengajaran yang efektif
dan efisien dapat tercapai.
Munculnya berbagai macam pendekatan disebabkan oleh
bervariasinya permasalahan yang mungkin dihadapi seorang pengajar di dalam
kelas. Seorang pengajar semestinya mengetahui serta menguasai beberapa
pendekatan yang dapat membantunya dalam proses pembelajaran. Untuk selanjutnya
kita akan membahas beberapa pendekatan yang dapat digunakan pada proses
pembelajaran di dalam kelas.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a.)
Apa pengertian pendekatan dan pengelolaan kelas?
b.)
Apa yang disebut dengan pendekatan managerial?
c.)
Apa yang disebut dengan pendekatan psikological?
d.)
Apa yang disebut pendekatan system?
C.
Tujuan
Berlandaskan pada rumusan
masalah tersebut di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini
adalah mampu menambah wawasan mahasiswa mengenai pendekatan
managerial psikologikal sistem.
D.
Manfaat
Sebagai
wacana dalam rangka memperkaya hazanah ilmu pengetahuan dalam Materi
Pengelolaan kelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendekatan dalam Pengelolaan Kelas
Pendekatan pembelajaran diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang dalam proses pembelajaran yang merujuk pada
pandangan tentang terjadinya suatu proses yang bersifat umum. Adapun pendekatan
merupakan unsur penting yang harus dikuasai pengajar sebelum mempersiapkan
perencanaan pembelajaran.[1]
Sebagai pekerja profesional, seorang guru
harus mendalami kerangka acuan pendekatan-pendekatan kelas, sebab di dalam
penggunaannya ia harus terlebih dahulu meyakinkan bahwa pendekatan yang
dipilihnya untuk menangani sesuatu kasus pengelolaan kelas merupakan alternatif
yang terbaik sesuai dengan hakikat masalahnya. Artinya seorang guru terlebih
dahulu harus menetapkan bahwa penggunaan sesuatu pendekatan memang cocok dengan
hakikat masalah yang ingin ditanggulangi. Ini tentu tidak dimaksudkan
mengatakan bahwa seorang guru akan berhasil baik setiap kali ia menangani kasus
pengelolaan kelas. Sebaliknya, keprofesionalan cara kerja seorang guru adalah
demikian sehingga apabila alternatif tindakannya yang pertama tidak memberikan
hasil sebagaimana yang diharapkan, maka ia masih mampu melakukan analisis ulang
terhadap situasi untuk kemudian tiba pada alternatif pendekatang yang kedua,
dan seterusnya.[2][i]
Cara kerja semacam ini berbeda sekali
dengan pendekatan seorang tukang, juga di kalangan pendidikan, misalnya yang
menggantungkan diri pada resep-resep, misalkan dalam bentuk aturan umum tentang
apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan (daftar do’s dan don’ts
seperti “selalulah bersikap adil”, “suara harus tetap tenang dikala memarahi murid”,
marahilah murid di bawah empat mata” dan yang semacamnya). Seorang pekerja
pendidikan yang menggantungkan diri pada “buku resep” macam ini akan segera
kehilangan akal apabila suatu dalil yang ia terapkan ternyata tidak memberi
hasil sebagaimana diharapkan.
Ada sejumlah konsep tentang pengelolaan
kelas, sebagian diantaranya tidak lagi dianggap memadai, misalnya pandangan
otoriter yang melihat pengelolaan kelas semata-mata sebagai upaya untuk
menegakkan tata tertib, atau pandangan permisif yang memusatkan perhatian pada
usaha untuk memaksimalkan kebebasan murid. Di dalam uaian ini akan dikemukakan
tiga pandangan yang nampaknya member harapan, baik dari penalarannya maupun
berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian.
B. Pendekatan Managerial
Pendekatan Managerial atau lebih umum
dengan istilah pendekatan manajemen adalah sebuah pendekatan yang bersifat
sistematis, karena pengelolaannya yang teratur dalam melibatkan unsur-unsur
yang terpadu didalam proses pembelajaran.
Pengelolaan kelas merupakan salah satu
kegiatan yang perlu dipersiapkan sedemikian rupa untuk mendukung pembelajaran
aktif. Dalam buku Pendekatan Keterampilan Proses, Prof. Dr. Cony
Semiawan, dkk. Membagi pengelolaan kelas menjadi tiga bagian, yaitu: 1)
pengaturan kelas, 2) pengelompokan siswa melayani kegiatan belajar mengajar,
dan 3) tutor sebaya.[3]
1. Pengaturan
Kelas
Tugas utama guru adalah menciptakan suasana
di dalam kelas agar terjadi interaksi belajar yang dapat memotivasi siswa untuk
belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. Untuk itu guru seyogyanya memiliki
kemampuan untuk melakukan interaksi belajar mengajar yang baik. Salah satu
kemampuan yang sangat penting adalah kemampuan mengatur kelas.
Untuk menciptakan suasana yang dapat
menumbuhkan gairah belajar, meningkatkan prestasi belajar siswa, dan lebih
memungkinkan guru memberikan bimbingan dan bantuan terhadap siswa dalam
pembelajaran, diperlukan pengorganisasian kelas yang memadai. Pengorganisasian
kelas adalah suatu rentetan kegiatan guru untuk menunbuhkan dan mempertahankan
organisasi kelas yang efektif, yang meliputi: (1) tujuan pembelajaran, (2)
pengaturan penggunaan waktu yang tersedia, (3) pengaturan ruang dan perabot
pelajaran di kelas, serta (4) pengelompokan dalam belajar.
a. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran merupakan pangkal tolak
keberhasilan dalam mengajar. Makin jelas rumusan tujuan, makin mudah menyusun
rencana dan melaksanakan kegiatan belajar siswa dalam melaksanakan kegiatan
belajar siswa di bawah bimbingan guru.
b. Waktu
Waktu yang tersedia dalam jadwal untuk
setiap pelajaran, untuk setiap caturwulan, dan untuk satu tahun pelajaran yang
sangat terbatas. Karena itu diperlukan pengaturan waktu yang yang tersedia.
Melalui pengaturan waktu yang tersedia, diharapkan siswa dapat melakukan
berbagai kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
c. Pengaturan Ruang Belajar
Agar tercipta suasana yang menyenangkan dan
menggairahkan dalam belajar, perlu diperhatikan pengaturan ruang belajar.
Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan siswa duduk
berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu siswa
dalam belajar
Dalam pengaturan ruang belajar, beberapa
hal yang berikut perlu diperhatikan:
Ukuran dan bentuk kelas
Bentuk serta ukuran bangku
dan meja siswa
Jumlah siswa di dalam
kelas
Jumlah siswa di dalam
setiap kelompok
Jumlah kelompok di dalam
kelas
Komposisi siswa dalam kelompok (siswa pandai dengan siswa kurang pandai, pria
dengan wanita)
d. Pengaturan Siswa dalam Belajar
Dalam belajar, siswa melakukan berbagai
kegiatan belajar. kegiatan belajar siswa disesuaikan dengan minat dan kebutuhan
siswa. Ada siswa yang dapat belajar sendiri dan ada pula yang dapat belajar
secara berkelompok. Oleh karena itu perlu pengelompokan belajar. di dalam
penyusunan anggota kelompok, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) Kegiatan belajar apa yang akan dilaksanakan
(individual, berpasangan, kelompok atau klasikal)?
2) Siapa yang menyusun anggota kelompok (guru,
siswa, atau guru dan siswa)
3) Atas dasar apa kelompok itu selalu tetap
atau berubah-ubah sesuai kebutuhan siswa dalam belajar?
e. Pengelompokan Siswa Melayani
Kegiatan Pembelajaran
Untuk mewujudkan suasana belajar di mana
siswa menjadi pusat kegiatan belajar, perlu organisasi kelas yang luwes.
Bangku, kursi, dan alat-alat lainnya mudah dipindahkan untuk kepentingan
bekerja kelompok. Ruangan kelas dan segala fasilitas yang disediakan perlu
diatur untuk melayani kegiatan belajar. penempatan papan tulis tidak harus
menetap di suatu tempat. Fasilitas kelas hendaknya dapat melayani pemajangan
hasil-hasil pekerjaan kelas.
Dalam melayani kegiatan belajar aktif,
pengelompokan siswa mempunyai arti tersendiri. Jadi dibedakan dari
pengelompokan yang sederhana sampai yang kompleks, maka pengelompokan siswa
dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: 1) pengelompokan menurut “kesenangan
berkawan”, 2) pengelompokan menurut kemampuan, 3) pengelompokan menurut minat.
f. Tutor sebaya, siswa befungsi sebagai
guru
Di negrara maju, percobaan menggunakan
siswa sebagai guru atau tutor sebaya telah berlangsung dan menunjukkan
keberhasilan. Di Indonesia sedang dicobakan. Dasar pemikirannya adalah siswa
yang pandai dapat memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan
tersebut dapat dilakukan kepada teman sekelasnya di sekolah atau kepada teman
sekelasnya di luar sekolah.[4]
C. Pendekatan Psikologikal
Dalam pembelajaran bahasa digunakan juga pendekatan
psikologi yang memanfaatkan aspek psikologi sebagai asumsi dasar. Pendekatan
ini memandang pengajaran bahasa mempunyai kaitan dengan ilmu yang menelaah
bagaimana peserta didik belajar, dan bagaimana peserta didik sebagai individu
yang kompleks. [5]
Asumsi-asumsi
tersebut dapat berupa:
1.
Teori Behaviorisme
Pendekatan pengelolaan kelas
berdasarkan perubahan tingkah laku bertolak dari sudut pandang psikologi
behavioral yang mengemukakan asumsi sebagai berikut :
a. Semua tingkah laku yang baik dari yang kurang
baik merupakan hasil proses belajar.
b. Dalam proses belajar terdapat proses psikologis
yang fundamental berupa penguat positif (positive
reinforcement), hukuman (Punishment), penghapusan (extinction)
dan penguat negatif (negatif reinforcement).
Asumsi pertama mengharuskan guru kelas berusaha menyusun
program kelas dan suasana yang dapat merangsang terwujudnya proses belajar yang
memungkinkan siswa mewujudkan tingkah laku murut norma yang berlaku di
lingkungan sekitar.
Asumsi kedua menunjukkan bahwa
ada empat proses yang perlu diperhitungkan dalam belajar bagi semua orang pada
segala tingkatan umur dan dalam segala keadaan (situasi). Proses belajar itu
sebagian atau seluruhnya dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di
lingkungan. Dengan demikian tugas guru ialah menguasai dan menerapkan keempat
proses yang telah terbukti merupakan pengontrol tingkah laku manusia, yaitu:
1.
Penguatan positif (positive reinforcement)
2.
Hukuman (punishment)
3.
Penghapusan (extinction) dan penundaan (time out)
4.
Penguat negatif (negative reinforcement)
v
Penguat Positif (positive
reinforcement)
Dalam kegiatan belajar
mengajar, penghargaan (penguat positif) mempunyai arti penting. Tingkah laku
dan penampilan siswa yang baik, diberi penghargaan dalam bentuk senyuman atau
pun kata-kata pujian yang merupakan penguat terhadap tingkah laku dan
penampilan siswa. Penguat adalah respons terhadap tingkah laku yang dapat
meningkatkan kemungkinan berulang kembali tingkah laku tersebut. Adapun
komponen-komponen yang perlu dipahami dan dikuasai penggunaannya oleh guru agar
ia dapat memberikan penguat secara bijaksana adalah sebagai berikut :
a.
Penguat verbal yaitu penguat
berupa kata-kata pujian, pengakuan, dorongan yang dipergunakan untuk menguatkan
tingkah laku dan penampilan siswa.
b.
Penguat non verbal yaitu penguat
berupa mimik dan gerakan badan, penguat dengan cara mendekati, penguat dengan
bentukan, penguat dengan kegiatan yang menyenangkan dan penguat brupa simbol
atau benda.
Penguat berupa mimik dan gerakan-gerakan
badan seperti acungan ibu jari, anggukan, senyuman, kadang-kadang dilaksanakan
bersama-sama dengan penguat verbal. Misalnya ketika guru memberikan penguat
verbal “bagus sekali” kepada seorang siswa, pada saat itu juga guru
mengacungkan jempolnya ke arah siswa itu. Namun demikian, penguat non verbal
ini tidak harus selalu dilaksanakan pada saat yang sama dengan penguat verbal.
Penguat dengan cara mendekati
ialah mendekatnya guru kepada siswa untuk menyatakan perhatian dan
kesenangannya terhadap pekerjaan, tingkah laku atau penampilan siswa. Cara
tersebut dapat dilaksanakan antara lain dengan cara duduk dekat seorang atau
kelompok siswa, berdiri disamping siswa, berjalan disisi siswa, dan sebagainya.
Penguat dengan sentuhan dapat
dilaksanakan guru dengan menyatakan persetujuan dan penghargaannya terhadap
usaha atau penampilan siswa dengan menepuk bahu atau menjabat tangan siswa.
Penggunaan jenis penguat ini harus dipertimbangkan dengan seksama, agar sesuai
dengan jenis kelamin siswa, umur siswa dan latar belakang kebudayaan setempat.
Penguat berupa menepuk bahu siswa misalnya, mungkin tidak tepat dilakukan guru
laki-laki kepada siswa perempuan atau sebaliknya.
Selain komponen-komponen
pemberian penguat tersebut diatas, ada beberapa prinsip yang melandasi
penggunaan penguat yaitu:
1)
Kehangatan dan keantusiasan
2)
Kebermaknaan
3)
Menghindari penggunan respons yang negatif
Dalam memberikan penguat, guru
patut menampakkan kehangatan dan keantusiasan. Gaya dan sikap guru termasuk
mimik, suara dan gerakan badan, akan menunjukkan adanya kehangatan dan
keantusiasan dalam memberikan penguat. Siswa perlu memahami hubungan antara
tingkah laku dan penampilannya dengan penguat yang diberikan kepadanya. Ia
harus dapat mengerti dan yakin bahwa ia patut diberi penguat itu karena sesuai
dengan tingkah laku dan penampilannya. Dengan demikian penguat itu bermakna
baginya. Walaupun teguran dan hukuman tetap dapat digunakan untuk mengontrol
dan membina tingkah laku siswa, tetapi respons negatif yang diberikan guru
berupa komentar bernada menghina atau ejekan yang kasar perlu dihindari, karena
akan mematahkan semangat siswa untuk mengembangkan dirinya. Karena iitu bila
siswa tidak memberikan jaaban yang diharapkan, janganlah guru langsung
menyalahkannya, tetapi memindahkan giliran menjawab oleh siswa lain. Jika
pertanya tersebut terjawab oleh siswa lain, siswa yang tidak dapat menjawabtadi
dapat menyadari kesalahannya. Dengan demikian guru menghindari pemberian respons
negatif, sambil tetap berusaha dengan bijaksana memberikan balikan kepada siswa
yang membutuhkan bantuan guru.
v
Hukuman
Dalam mempergunakan hukuman
sebagai suatu upaya pendidikan, guru harus mengenali dan memahami keuntungan
dan kerugian penggunaan hukuman. Beberapa keuntungannya adalah:
1. Hukuman dapat menghentikan dengan segera
tingkah laku siswa yang menyimpang dan dapat mencegah berulangnya kembali
tingkah laku itu dalam waktu yang cukup lama.
2. Hukuman berfungsi sebagai pemberi petunjuk
kepada siswa dengan kenyataan bahwa siswa dibantu untuk segera mengetahui
tingkah laku mana yang dapat diterima.
3. Hukuman berfungsi sebagai pengajaran bagi
siswa-siswi lain dengan kenyataan bahwa hukuman itu mungkin mengurangi
kemungkinan siswa-siswi lain meniru tingkah laku yang mendapat hukuman itu.
Beberapa kerugian penggunaan
hukuman meliputi:
1. Hukuman dapat
ditafsirkan salah.
2. Hukuman dapat
menyebabkan siswa yang bersangkutan menarik diri sama sekali.
3. Hukuman dapat
menyebabkan siswa agresif.
4. Hukuman dapat
mempengaruhi kejiwaan siwa yang berangkutan.
Dalam menghukum, guru hendaklah berpedoman pada “punitur,
qunia peccatum est” (dihukum karena telah bersalah) dan “punitur no
peccatum” (dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan) (M.J. Langeveld,
1975). Namun guru harus menyadari bahwa hukuman tidak boleh diberikan sebagai
pembalasan dendam, tidak diberikan dalam keadaan marah dan hukuman itu akan
memberikan efek yang positif terhadap perubahan tingkah laku siswa.
Selain dari itu, dalam
melaksanakan hukuman guru harus memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut :
1.
Hubungan sosial
antara guru dan siswa sangat menentukan akibat-akibat dari hukuman.
2.
Hukuman harus dilaksanakan
berbeda-beda sesuai dengan jenis kelamin dan kepribadian siswa masing-masing.
3.
Hukuman itu hendaknya ada sangkut-pautnya dengan
pelanggaran.
4.
Guru hendaknya berusaha mengadakan penilaian terhadap
pandangan siswa-siswi mengenai hukuman yang dijatuhkannya.
5.
Dalam memberikan hukuman hendaknya ditinjau dari
seluruh situasi kegiatan belajar mengajar.
v Penghapusan
(extinction) dan penundaan (time out)
Penghapusan adalah menahan
(tidak lagi memberikan) ganjaran yang diharapkan akan diberikan seperti yang
sudah-sudah (menahan pemberian penguat positif). Penghapusan ini menghasilkan
penurunan frekuensi tingkah laku yang semula mendapat penguat.
Penundaan (time out)
merupakan tindakan tidak jadi memberikan ganjaran atau mengecualikan pemberian
ganjaran untuk siswa tertentu. Penundaan seperti ini menurunkan frekuensi
penguat dan menurunkan frekuensi tingkah laku siswa. Misalnya, para siswa di
kelas Ibu Fatimah (guru Bahasa Inggris) yakin baha guru mereka itu akan
menyelenggarakan permainan kata-kata (word game) jika para sisa
mengerjakan tugas dengan baik. Permainan ini digemari oleh para siswa. Ternyata
siswa-siswi memang mengerjakan tugas dengan baik kecuali Totok. Ibu fatimah
mengatakan pada Totok tidak diperkenankan ikut serta dalam permainan itu dan
duduk sendiri dari kelompoknya (mengecualikan pemberian ganjaran untuk siswa
tertentu). Selanjutnya, Totok mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik.
v
Penguat negatif (Negative
Reinforcement)
Yang dimaksud penguat negatif adalah peniadaan
perangsang yang tidak mengenakkan (hukuman) setelah ditampilkannya suatu
tingkah laku yang mengakibatkan menurunnya frekuensi tingkah laku yang
dimaksud. Peniadaan hukuman itu memperkuat tingkah laku
yang ditampilkan dan meningkatkan kecenderungan diulanginya tingkah laku
tersebut. Misalnya, Neneng adalah salah seorang siswa yang terus-menerus
menyerahkan kepada guru laporan yang ditulis tidak rapi. Meskipun guru terus-menerus
menegur dan memarahinya, laporam-laporan nenenng itu tetap tidak lebih baik.
Pada suatu ketika Neneng menyerahkan laporan agak rapi, guru menerima laporan
Neneng itu tanpa komentar dan tanpa teguran (marah) yang selama ini ditempakan
kepadanya (peniadaan hukuman). Selanjutnya, laporan-laporan neneng menjadi
lebih rapi (frekuensi tingkah laku meningkat).[6]
Dalam pendekatan psikologikal selain dari buku Mulyadi
yang berjudul Classroom Management. Penjelasan yang di jelaskan tidak
jauh dari yang sudah dijelaskan di atas, ini adalah sebagai penambahan
pengetahuan kepada kita, bahwa pendekatan psikologikal sangat penting dalam
pengelolaan kelas yang harus diketahui oleh seorang guru, penjelasannya adalah
sebagai berikut:
Behaviour-Modification Approach
Pendekatan ini bertolak dari psikologi
behaviral yang mengemukakan asumsi bahwa
1) Semua tingkah laku, yang “baik”
maupun “yang kurang baik” merupakan hasil proses belajar
2) Ada sejumlah proses
psikologi yang fundamental yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar yang dimaksud, adapu proses psikologi yang dimaksud adalah
penguatan positif (positive reinforcement), hukuman, penghapusan (extinction),
dan penguatan negative (negative reinforcement) Penguatan ini sendiri ada dua macam,
yaitu penguatan primer (primary or unconditioned reinforcers yang menjadi
penguat sebagai hasil proses belajar), dan penguatan sekunder (secondary or
conditioned reinforcers yang menjadi penguat sebagai hasil dari proses
belajar).
Hukuman merupakan sarana pengelolaan kelas yang
kontroversial. Sebagian menganggap bahwa hukuman merupakan alat yang efektif
untuk dengan segera menghentikan tingkah laku yang tidak dikehendaki di samping
sekaligus bisa merupakan suri tauladan bagi murid lain secara tegas mendefinisikan
tingkah laku yang tidak dikehendaki, akan tetapi akibat sampingan bisa serius.
Misalnya, hubungan pribadi antara guru (penghukum) dan murid (terhukum) dapat
terganggu murid terhukum dan mungkin juga yang lain mungkin menggeneralisasikan
tingkah laku yang dihukum, misalnya murid kapok mengemukakan pendapat: atau
murid yang dihukum justru menjadi “pahlawan” dimata kawan-kawannya.
Socio – Emotional-Climate Approach
Dengan berlandaskan Psikologi Klinis dan Konseling,
pendekatan pengelolaan kelas ini mengasumsikan bahwa:
a.
Proses belajar mengajar yang efektif mempersyaratkan
iklim sosio-personal yang baik dalam arti terdapat hubungan inter-personal yang
baik antar guru murid dan antar murid.
b.
Guru menduduki posisi terpenting bagi terbentuknya
iklim sosio-emosional yang baik itu.
Ada sejumlah ahli yang menganjurkan pendekatan ini.
Carls A. Rogers menekankan pentingnya guru
bersikap tulus di hadapan murid (roalness, genueness and congruence); menerima
dan menghadapi murid sebagai manusia (acceptance, prizing, caring, and trust);
dan mengerti murid dari sudut pandangan murid sendiri (emphatio understanding).
Selanjutnya Halm C. Ginott mengaggap sangat penting kemampuan guru melakukan
komunikasi yang efektif dengan murid dalam arti dalam mengusahakan pemecahan
masala, guru membicarakan situasi, dan bukan pribadi pelaku pelanggaran. Dengan
perkataan lain, William Glasser memusatkan perhatiannya pada pentingnya guru
membina rasa tanggung jawab sosial dan harga diri murid dengan cara setiap kali
mengarahkan murid untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi.[7]
Group-Processess Approach
Dan Pendekatan ini didasarkan pada Psikologi
Sosial dan Dinamika Kelompok. Oleh karena itu maka asumsi pokoknya adalah
1. Pengalaman
belajar sekolah berlangsung dalam kontek kelompok sosial
2. Tugas guru
yang terutama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok
yang produktif dan kohesif.
Menurut Richard A. Schmuck dan Patricia A.
Schmuck unsur-unsur pengelolaan
Pexpectation) tingkah laku guru-murid dan antar murid sendiri; (2)
kepemimpinan baik dari guru maupun dari murid yang mengarahkan kegiatan
kelompok kearah pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan; (3) pola
persahabtan (attraction) antara anggota kelas semakin baik ikatan persahabtan
yang dimaksud semakin besar peluang kelompok menjadi produktif; (4) norma, dalam
arti dimiliki serta dipertahankan noema kelompok yang produktif, serta diubah
dan digantinya norma yang kurang produktif.
Eclectic Approach
Akhirnya, apabila disimak secara seksama
maka ketiga pendekatan yang telah diuraikan di muka adalah ibarat sudut
pandangan yang berbeda-beda terhadap obyek yang sama. Oleh karena itu maka
seorang guru seyogyanya (1) menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas
yang potensional, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah laku. Penciptaan
Iklim Sosio-Emosional dan proses Kelompok; dan (2) dapat memilih pendekatan
yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah
pengelolaan kelas. Pada gilirannya kemampuan guru memilih strategi pengelolaan
kelas yang tepat sangat terganting pada kemampuannya menganalisis masalah
pengelolaan kelas yang dihadapinya.
Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih
bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah
laku murid yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku murid yang kurang
baik; pendekatan Penciptaan Iklim Sosio-Emosional dipergunakan apabila sasarn
tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru murid dan
antar murid, sedangkan pendekatan Proses Kelompok dianut bila seorang guru
ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.[8]
4.
Teori Gestalt
Dalam teori ini menjelaskan bahwa persepsi tidak
berdasarkan pada respon yang terisolasi terhadap stimulus khusus, tetapi lebih
kepada reaksi terhadap stimulus total. Implikasi lain dari persepsi adalah
adanya reaksi aktif terhadap lingkungan. mengutamakan struktural yang ada dalam
pandangan-pandangan visual, meliputi elemen-elemen yang aplikasi teori gestalt
dalam proses pembelajaran antara lain :
1.
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan
tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.
2.
Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin
jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari.
Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam
identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang
dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan
proses kehidupannya.
3. Perilaku
bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya
dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan
efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena
itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu
peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip
ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya
memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta
didik.
5. Transfer
dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi
dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam
tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip
pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan
umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi
untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh
karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.[9]
5. Teori
Kognitif
Teori kognitif menekankan proses atau upaya dalam
menekankan potensi intelektual. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan
behavioris yang lebih dominan dalam pengambilan tingkah laku. Kognitif atau
kemampuan rasional terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (application), analisa
(analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation).
Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada
pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses
mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang
digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman – pengalaman
belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan
jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai
pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi
memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam
kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made
knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui
interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan
individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa
seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun
pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus
melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari
individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok kecil siswa daripada aktivitas
dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi.
Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat dihindari untuk
perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, perkembangannya dapat disimulasi.[10]
D. Pendekatan Sistem
Pada dasarnya proses pembelajaran terkait
dengan berbagai komponen yang sangat kompleks. Komponen tersebut meliputi
tujuan, materi, media, siswa, guru dan komponen lainnya. Masing-masing komponen
tersebut saling terkait sebagau suatu sistem. Oleh sebab itu, penyusunan
perencanaan pembelajaran perlu didasarkan pada pendekatan sistem.
Sistem berarti gabungan dari beberapa
komponen sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan. Suatu sistem
dapat menjadi supra atau subsistem dari sistem lainnya. Supra sistem adalah
suatu sistem yang berada di atasnya. Sedangkan subsistem adalah sistem yang
berada dalam sistem. Misalnya, sistem pembelajaran dapat menjadi supra dari
sistem metode metode pembelajaran dan dapat menjadi su sistem dari sistem
sekolah.
Suatu sistem merupakan keterkaitan antara
(masukan), proses, dan (keluaran). Misalnya, masukan dari pembelajaran dapat
berupa siswa, guru, materi, dan media. Proses pembelajaran adalah aktivitas
kegiatan pembelajaran. Keluaran dapat berupa perubahan diri siswa sebagai hasil
dari proses pembelajaran.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran diartikan sebagai titik tolak
atau sudut pandang dalam proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang bersifat umum. Adapun pendekatan merupakan
unsur penting yang harus dikuasai pengajar sebelum mempersiapkan perencanaan
pembelajaran.
Pendekatan Managerial atau lebih umum dengan istilah
pendekatan manajemen adalah sebuah pendekatan yang bersifat sistematis, karena
pengelolaannya yang teratur dalam melibatkan unsur-unsur yang terpadu didalam
proses pembelajaran.
Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan
tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku murid
yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku murid yang kurang baik;
pendekatan Penciptaan Iklim Sosio-Emosional dipergunakan apabila sasarn
tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru murid dan
antar murid, sedangkan pendekatan Proses Kelompok dianut bila seorang guru
ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, media,
siswa, guru dan komponen lainnya. Masing-masing komponen tersebut saling
terkait sebagau suatu sistem. Oleh sebab itu, penyusunan perencanaan
pembelajaran perlu didasarkan pada pendekatan sistem.
Sistem berarti gabungan dari beberapa komponen sebagai
satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan. Suatu sistem dapat menjadi supra
atau subsistem dari sistem lainnya. Supra sistem adalah suatu sistem yang
berada di atasnya. Sedangkan subsistem adalah sistem yang berada dalam sistem.
Misalnya, sistem pembelajaran dapat menjadi supra dari sistem metode metode
pembelajaran dan dapat menjadi su sistem dari sistem sekolah.
Suatu sistem merupakan keterkaitan antara (masukan),
proses, dan (keluaran). Misalnya, masukan dari pembelajaran dapat berupa siswa,
guru, materi, dan media. Proses pembelajaran adalah aktivitas kegiatan
pembelajaran. Keluaran dapat berupa perubahan diri siswa sebagai hasil dari
proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Ahmad Rohani, Pedoman
Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan di
Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Achmad Sapari, supriono S, Manajemen
Berbasis Sekolah Jatim: SIC, 2001
Cony Semiawan, dkk, Pendekatan
Keterampilan Proses, Jakarta: 1987
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan
Pengelolaan kelas Sebagai Lembaga Pendidikan,
Jakarta: CV Haji Masagung, 1989
Mulyadi.Classroom
Management. Malang: UIN malang Press.2009
Rohani Ahmad, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2004
Suwardi, Manajemen Pendidikan, Salatiga: STAIN
Salatiga Press, 2007
[1] Rohani Ahmad, Pengelolaan
Pengajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hal.148
[3] Prof. Dr. Cony
Semiawan, dkk, Pendekatan Keterampilan Proses, (Jakarta: 1987), hal. 71.
[5] Iskandarwassid dan Sunendar. Dadang., Strategi
Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.72.
[7] Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan kelas Sebagai
Lembaga Pendidikan, (Jakarta: CV
Haji Masagung, 1989), hal 140-142
[11] Suwardi, Manajemen
Pendidikan, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007), hal 31-32