HAK CIPTA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Makalah ini diajukan untuk
memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Masailul
Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Dani
al Qori’, Lc
Oleh
:
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA)
SUCI
MANYAR GRESIK
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap di limpahkan kepada Rasulullah
SAW. Penulis bersyukur kepada Ilahi Rabbi, karena-Nya makalah yang berjudul “Hak Cipta Dalam Perspektif Islam Dan
Hukum Positif ” dapat terselesaikan.
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa lain dapat memahami secara
mendalam tentang hal-hal yang dapat berkaitan dengan materi yang ada dalam
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kepada para pembaca, para pakar, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, meski penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna,
dengan keterbatasan wawasan dan referensi, kami berharap semoga makalah ini
dapat berguna bagi semua pihak, terkhusus bagi kami sendiri dan umumnya bagi
semua pihak
Gresik, 30 Maret 2013
Pemakalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hak Cipta.
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright
dalam bahasa Inggris (secara
harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan
sejalan dengan penemuan mesin cetak.
Hak Cipta adalah “Hak eksklusif
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan
gagasan atau informasi tertentu”. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak
untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.
Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Ciptaan
adalah “Hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keaslian dalam lapangan
ilmu penetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 butir 3). Pemegang hak cipta adalah
pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak (Pasal 1 butir 4).”
Pencipta adalah “Seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu
ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau
keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi (Pasal 1
buir 2)”.
Dan dalam UUHC disebutkan bahwa hak cipta adalah: Hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 butir 1 ).
Dalam hak cipta
terdapat beberapa istilah yang dipakai dan dikenal antara lain :
·
Lisensi: izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak
terkait kepada pihak lain untuk diumumkan dan/ atau memperbanyak ciptaannya
atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
- Perbanyakan: penambahan jumlah ciptaan baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama, termasuk pengalihan wujud secara permanen atau temporer.
- Pengumuman: pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain.
2.2Macam-macam Hak
Cipta.
Hak cipta ada dua, yaitu:
a) Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada
pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal
ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta
tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta
tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam,
dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun".
Selain itu, dalam hukum yang berlaku
di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak
cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik,
aktor,
penari,
dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab
VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara
nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut
dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau
perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula
mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi,
dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
b) Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang
dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter
alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi
Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah
atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep
"hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah
dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada
ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk
dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak
Cipta.
2.3Hak Cipta Dalam
Pandangan Islam.
Al Qur’an dan al Hadist sebagai juru bicara islam
telah meletakkan ilmu pengetahuan sebagai sebuah instrumen yang sangat
tinggi nilainya bagi manusia. Manusia dituntut untuk menggunakan akal. Semua
ini menunjukkan aktivitas intelektual. Karena sangat pentingnya ilmu itu maka
mengajarkan dan menyebarkan ilmu menjadi sebuah keharusan dalam sistem sosial
Islam.
Oleh karena itu, islam tidak mengenal
monopoli ilmu pengetahuan, memproteksi sebuah ilmu agar orang lain tidak
mengetahuinya. Islam menganjurkan dan menfasilitasi agar tersebarnya ilmu
pengetahuan. Walau demikian, fiqh islam klasik secara ekplisit tidak dikenal
adanya hak kekayaan intelektual atau benda yang abstrak.
Dalam kitab Kaysf al Asror, imam Abu
qosim menjelaskan hak seseorang adalah setiap hak yang dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang. Dalam penjelasan hak ini, imam Ahmad memiliki sebuah
pendapat bahwa“seseorang tidak boleh menyalin hadis dalam kertas, ketika ia
menemukan sebuah kertas yang terdapat, kecuali bila diizinkan oleh pemiliknya”.
Walupun hukum ini lahir dalam konteks adab dan tasawuf, tetapi hal ini
merupakan bentuk legetimasi terhadap penguasaan pemilik tulisan atas
tulisannya. Hal ini dapat diartikan bahwa sebuah karya adalah hak milik
pencipta sebagai hasil dari jerih payah intelektualiasnya. kemudian timbul
pertanyaan terkait hak cipta sebuah karya, Apakah ia merupakan hak yang
bersifat materi, ataukah immateri yang terlepas dari sisi-sisi komersial.
Untuk menjawab masalah diatas, guru besar
Ushul Fiqih Universitas Damaskus, Dr.Said Romadlon al Buthi, menjelaskan bahwa
“pada masa lampau, sebuah karya ilmiah muncul dan terpendam dalam otak
pengarangnya.
Transmisi ilmu yang terkandung bisa
terwujud berkat kreatifitas tangan para penulis dengan susah payah menulis dan
menyalinya. Akan tetapi, pada saat itu tulisan yang dihasilkan tidak tampak
nilai harta atau penghargaan bersifat materi kecuali hanya pujian yang tertuju
pada pengarangnya. Melalui potret sistem yang berlaku pada saat itu, kita bisa
menarik kesimpulan bahwa sebuah afirmasi terhadap karya ilmiah adalah hak yang
bersifat immateri (maknawi) bagi penciptanya atau pengarangnya.
Pada dasarnya, nilai harta pada sesuatu
muncul dan ada bergantung pada pandangan umum masyarakat (urf al ijtima’i),
baik kita memahami harta sebagaimana mazhab Hanafi yang mendefinisikan harta
adalah merupakan benda atau barang yang berwujud yang boleh diawasi dan diambil
manfaat darinya. atau kita mengikuti jumhur ulama’ yang menkonsepsikan harta
secara definitif sesuatu yang punya nilai baik pada barang yang berwujud atau
kepada barang yang tidak berwujud. Contoh yang paling mudah untuk kasus ini
adalah ulat sutra, dulu banyak orang memandang sebelah mata dan tidak
menganggapnya sebagai komoditi. hal itu bisa terjadi mungkin disebabkan
ketidaktahuan mereka manfaatnya atau mungkin juga mereka belum memeliki
peralatan yang memadahi untuk mengolah sutra. Sehingga jual beli ulat sutra
tidak masyru’. Namun seiring berjalanya waktu dan pergantian generasi
orang mulai mengetahui manfaat ulat sutra dan berusaha mengeksploitasinya.
bersamaan dengan itu jual beli ulat sutra pun disyareatkan dan ia menjadi
komoditas yang potensial[1].
Dari uraian diatas, dapat difahami bahwa
urf al ijtima’i memainkan peranan penting dalam menentukan harta
dalam islam. Dengan syarat urf tersebut mematuhi segala ketentuan syara’. Imam
al-Sayuutii dalam karyanya asybah wa annadhoir berkata “setiap apa
yang disebut dalam syara’ secara mutlak tanpa ada penentu dari bahasa maupun
syara’ itu sendiri, maka dikembalikan kepada urf”, Sedangkan
menurut urf harta itu adalah sesuatu yang punya nilai baik pada barang
yang berwujud atau kepada barang yang tidak berwujud, dan nilai tersebut diukur
pada manfaat barang tersebut.
Dalam anggapan manusia pada umumnya, harga
buku tidak lebih dipandang dari segi harga tinta, kertas dan jerih payah
penulis dalam menulisnya. tetapi dibalik itu sebenarnya terdapat nilai yang
sangat berharga, Seperti khidmah terhadap agama, memberikan solusi—solusi
ilmiah terhadap kebuntuan-kebuntuan, memberi kenikmatan kepada pembaca sebuah
kebenaran ilimiah, mengurai benang kusut sebuah pemikiran atau faham.
Dalam ranah ini para intelektual akhirnya berlomba-lomba, sehingga karya ilmiah
menjadi sangat berharga dan sangat potensial dilihat dari segi ekonomi dengan
tetap melihat hukum permintaan (Qonun arld wa tholab).
Meski demikian, bukankah ketika seseorang
membeli buku tentu buku tersebut menjadi miliknya dan ia berhak memanfaatkan
buku itu sepenuhnya, seperti memperbanyak atau mengkopi kemudian menjualnya.
Untuk menjawab permasalahan ini, maka kita harus terlebih dahulu mengetahui
bahwa sebenarnya aqad jual beli jatuh kepada nilai ilmiah(ilmu) yang terkandung
dalam buku. karena itu memang yang menjadi tujuan orang membeli buku.
oleh karena ilmu adalah sesuatu yang bersifat immateri dan tidak bisa diserah
terimakan kecuali mengunakan wadah dan wadah itu adalah buku. Maka pada
akhirnya yang menjadi obyek aqad jual beli adalah buku itu sendiri. dan secara
tidak langsung nilai ilmiah (ilmu) yang ada dalam buku ikut terbeli tabi’
terhadap buku.
Buku menjadi penentu batas nilai ilmiah
(ilmu) yang dimiliki pembeli, penerbit akan memiliki hak mencetak jumlah yang
disepakati dengan penulis. dan tidak boleh mencetak diatas yang sudah
disepakati begitu juga konsumen dengan hanya berpegang kepemilikan terhadap
buku. sebab sebagaimana keterangan diatas, bahwa aqad jual beli itu secara asl
jatuh terhadap buku dan isi buku secara tabi’. Sehingga pembeli atupun
penerbit memiliki secara penuh terhadap buku tetapi tidak dengan isi buku dan
ia tidak boleh beranggapan dengan membeli telah menghilangkan hak yang
dimiliki pengarang atas isi buku.
Majma’ fiqih al islami sebagai badan Fiqih
dunia yang bernaung dibawah OKI dalam muktamarnya di kuwait pada tanggal
10-15 desember 1988 Memutuskan hak karya cipta dilindungi secara syara’ dan
bagi penciptanya memiliki hak tasarruf dan tidak boleh bagi yang lain berbuat
kriminal terhadap hak tersebut.
Pendek
kata, mengacu pada pemaparan al buthi dan keputusan Majama’ fiqih al islami
pemilik buku tidak memiliki hak menggandakan atau mengkopi isi buku apalagi
untuk dikomersialkannya[2].
Lalu bagaimana dengan memfotocopynya, untuk digunakan sebagai materi
bahan ajar atau tugas dan sebagainya. Dalam tinjaun fiqih islam, hukumnya
tidak boleh kecuali ada izin atau ketika ada dzon qowi (prasangka yang
kuat) ridlo dari pemiliknya serta tidak ada unsur merugikan maka diperbolehkan.
Mengkaji
masalah hak cipta dalam tinjauan hukum Islam, harus dimulai dari pandangan
Islam terhadap haq itu sendiri. Haq menurut Mustofa Zarqa' didefinisikan
: "Kekhususan yang diakui oleh syariat Islam, baik itu berupa otoritas
atau pembebanan".
Dengan
demikian ini mencakup antara lain :
1)
Hak Allah yang dibebankan kepada hambanya, seperti shalat, puasa dan zakat;
2)
Hak sipil seperti hak untuk memiliki atas benda
3)
Hak sosial, seperti hak orang tua kepada anak dan hak suami terhadap isteri;
4)
Hak Publik seperti kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya;
5)
Hak berkaitan dengan harta seperti nafkah;
6)
Hak yang berkaitan dengan otoritas seperti perwalian 7) Hak asasi yang mencakup
hak untuk hidup bebas.
8) Dan lain-lain.
Hukum
Islam dalam kaitannya dengan hak, menetapkan langkah-langkah hukum sebagai
berikut:
1.
Memberikan hak kepada yang berhak. Bila itu hak Allah, maka harus dipenuhi
dengan mengikuti aturan yang telah diberikan oleh Allah. Semisal shalat harus
dipenuhi oleh mereka yang kewajiban sesuai dengan aturan yang ditentukan.
Demikian pula zakat harus diberikan oleh mereka yang berkewajiban dan
disalurkan kepada yang berhak, sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Terkadang diperlukan suatu perangkat hukum tertentu untuk
menegakkan hak ini, seperti dibentuknya lembaga hukum yang mengelola zakat,
agar tidak terjadi kecurangan dan penyelewengan. Bila itu hak manusia diberikan
kebebasan dalam memberikan dan menuntutnya melalui kesadaran dan saling ridlo
(taradli). Memberikan hak kepada yang berhak merupakan kewajiban agama dan
merampas hak dari pemiliknya merupakan tindakan yang dilarang agama.
Memegang amanat adalah kewajiban setiap individu dan menghianati
dan menelantarkannya merupakan dosa. Bila terjadi perselisihan masalah hak pun
langkah awal yang dianjurkan syaiah adalah melalui jalur ini, yaitu dengan
damai atau arbritasi. Bila jalur kesadaran dan taradli tidak mampu
mengembalikan hak kepada pemiliknya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
jalur hukum, yaitu pengadilan. Ini untuk menjaga agar dalam memberikan hak
kepada yang berhak tetap bemuara pada nilai-nilai keadilan. Pihak yang menolak memberikanhak
kepada yang berhak, di samping diancam hukuman akhirat, yaitu siksa neraka juga
diancam hukuman dunaiwi, sesuai dengan besar dan kecilnya penyelewengan yang
dilakukan.
2.
Melindungi Hak Syariat Islam memberikan perlindungan kepada hak dari segala
bentuk penganiayaan, kecurangan, penyalahgunaan dan perampasan. Di sini
perlindungan yang diberikan pertama: berupa perlindungan moral, seperti
keharaman meninggalkan ibadah wajib, keharaman mencuri, berzina, keharaman
menipu dan memalsu, keharaman transaksi mengandung riba dan kewajiban
menjunjung tinggai nilai-nilai masayrakat yang sesuai agama. Kedua adalah
perlindungan hukum, setiap orang yang dizalimi boleh mengangkat masalahnya ke
pengadilan untuk mendapatkan kembali haknya.
3.
Menggunakan hak dengan cara yang sah dan benar. Setiap manusia diberi wewenang
menngunakan haknya sesuai dengan yang diperintahkan dan diizinkan oleh syariat.
Oleh sebab itu dalam menngunakan hak tidak boleh melapaui batas dan tidak boleh
menimbulkan kerugian padapihak lain, baik yang sifatnya personal maupun publik.
Suatu contoh meskipun dalam menggunakan hak miliknya seseorang mendapatkan
jaminan hukum, tapi jangan sampai dalam mengguankan hak milik tersebut
mencederai orang lain. Seorang penguasa meskipun diberi hak membelanjakan harta
publik, ia tetap berkewajiban membelanjakannay sesuai peraturan dan ke jalan
yang benar.
4.
Menjamin perpindahan hak dengan cara benar dan sah. Hukum Islam melindungi
perpindahan hak melalui prosedur dan cara yang benar, baik itu melalui transaksi
seperti jual beli, atau pelimpahan seperti dalam kasus jaminan huang atau hak
yang berkaitan dengan wewenang, berpindahnya hak perwalian dari orang tua ke
anak sepeninggal orang tua.
5.
Menjamin hangus/terhentinya hak dengan cara benar dan sah Hukum Islam
melindungi hangusnya hak, atau terhentinya hak melalui prosedur dan cara yang
sah, misalnya hangusnya hak suami isteri melalui perceraian atau pengguguran
hak secara sukarela, seperti tidak menggunakan hak menuntut ganti rugi.
Bagaimana dengan hak paten atau hak cipta, hak-hak yang disebutkan di atas
telah mempunyai landasan dalil eksplisit yang cukup kuat, baik dalam al-Qur'an
atau hadist Nabi. Namun semacam hak paten atau hak cipta, tidak mempunyai
landasan nash yang eksplisit. Ini karena gagasan pengakuan atas hak paten dan
hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal oleh masyarakat
terdahulu.
Dalam jurisprudensi tertentu hak ini masuk dalam kategori hak
intelektual. Namun secara implisit, perlindungan hak intelektual tetap
ditemukan dalam sistem hukum Islam. Ini di satu pihak, karena konsep hak itu
sendiri yang dalam perpekstif hukum Islam, tidak baku dan bisa berkembang
secara fleksibel. Misalnya perlindungan terhadap hak Allah, teksnisnya tetap
akan terganbtung kepada berbagai situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Apalagi hak-hak yang sifatya sosial dan publik yang sangat sarat dengan
perkembangan peradaban dan kultur. Di pihak lain, pola perlindungan terhadap
hak yang diberikan oleh hukum Islam, meskipun sasaranya baku, aspek teknis dan
implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan. Fleksibilitas
penerapan dengan sasaran yang jelas itulah termasuk salah satu ciri khas hukum
Islam.
Dari pendekatan ini, bisa dikatakan bahwa hak intelektual, sesuai
pekembangan dan tuntutan zaman, termasuk hak yang harus dilindungi oleh
syariat. Mengingat tidak ada nash ekplisit yang membahasnya, maka sumber hukum
yang digunakan adalah maslahah mursalah (kemaslahatan umum), yaitu bahwa setiap
sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, dan mempunyai
nilai mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, namun tidak mempunyai
dalil eksplisit, hukumnya harus dijalankan dan ditegakkan.
Kemaslahatan
tersebut bisa dilihat dari aspek-aspek Sebagai berikut :
a)
Pencipta
atau penemu temuan baru tersebut telah membelanjakan begitu besar waktu, biaya
dan fikirannya untuk menemukan suatu temuan baru, maka sudah selayaknya
dilindungi temuannya tersebut. Dalam penelitiannya ia pasti tidak lepas dari
tujuan pengembangan ilmu dan keuntungan meteri, sudah selayaknya pula dua
tujuan tersebut dilindungi dan diberi penghargaan.
b)
Temuan
baru tersebut mempunyai nilai harga dan bisa komersial, seperti terlihat bila
itu dijual akan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit, maka melindungi
temuan baru tersebut tidak ada bedanya dengan melindungi harta yang sifatnya
fisik.
c)
Mayoritas ulama mengatakan bahwa manfaat suatu
benda merupakan kekayaan yang mempunyai nilai harga, ini karena kebanyakan
benda dinilai dari manfaatnya bukan zat fisiknya. Oleh karena itu manfaat
terebut dilindungi secara hukum. Demikian pula penemuan baru harus dinilai dari
manfaatnya dan dari situ diperlukan perlindungan untuk melindunginya.
d)
Hukum
Islam menempatkan adat dan opini publik sebagai salah satu sumber hukumnya,
bila tidak bertentangan dengan ketentuan umum hukum Islam. Perkembangan adat
dan opini publik saat ini, telah menunutut hak intelektual harus dilindungi.
Demikian juga pencurian dan pemalsuan terhadap hak inteletual oleh opini publik
telah dianggap tindakan penyelewengan hukum, atau bahkan tindakan pidana.
Apalagi pada saat ini, penyelewengan atau pemalsuan atas hak cipta ini telah
bisa dirasakan kerugiannya secara pasti. Menimbulkan kerugian kepada orang lain
jelas tindakan yang dilarang agama. Itulah landasan yang digunakan hukum Islam
untuk melindungi hak intelektual atau hak cipta.
Dengan demikian pencurian atas hak cipta menurut hukum Islam juga
bisa terancam hukuman. Bagaimana bentuk hukuman tersebut, tergantung kepada sistem
peadilan dan menentukannya. Dosakah pencurian atas hak cipta dalam tinjauan
agama? Sejauh hak cipta merupakan hak yang harus dilindungi, maka mencurinya,
secara lahir jelas sama dengan mencuri hak-hak lain yang terlindungi. Sejauh
pencurian terhadap hak intelektual menimbulkan kerugian bagi pemilik hak
tersebut, maka mencurinya jelas sama dengan menimbulkan kerugian materi lainnya
terhadap orang lain. Yang jelas agama Islam melarang segala bentuk kedlaliman
dan tindakan yang merugikan orang lain.
Bagaimana kalau pencurian atas hak cipta tersebut dilakukan untuk
kemaslahatan lain yang lebih besar, Ini memerlukan kajian yang lebih telilti
lagi tentang bagaimana mengukur kemaslahatan tersebut, sehingga bisa menerapkan
qaidah " ا
ذا تعردالمصلحة قدٌم اعظمهما
Yang artinya: ”Apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka
diambil yang lebih besar.”
2.4Hak Cipta Dalam Hukum Positif.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak
Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"
(pasal 1 butir 1). Undang-undang Hak Cipta yang
dilegalisasi oleh negara-negara tersebut dimesti memberikan hak kepada individu
untuk melindungi hasil ciptaannya serta melarang orang lain untuk memanfaatkan
ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan
mengenakan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya dengan hukuman penjara sehingga
puluhan tahun, baik ketika penciptanya masih hidup atau telah mati.
Undang-undang yang dilegalisasi juga mesti mencakup undang-undang perlindungan
bagi perusahaan-perusahaan pemegang hak paten. Maksud dari karya cipta adalah “pemikiran
atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang dan belum ditemui oleh orang
lain sebelumnya”. Bahagian terpenting dari karya-karya cipta tersebut
adalah pengetahuan yang boleh dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi
barang dan jasa (usaha) dan apa yang sekarang ini disebut sebagai “teknologi”.
Berdasarkan hal di atas, orang-orang kapitalis Barat menganggap pengetahuan individu sebagai ‘harta’ yang boleh dimiliki dan bagi orang yang diajar atau mendapat pengetahuan tersebut tidak dibolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik dan ahli warisnya, sesuai dengan standard-standard tertentu. Contohnya, jika seseorang membeli buku atau disket yang mengandungi pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya sahaja, seperti membaca atau mendengarnya. Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain seperti mencetak dan menyalin untuk dijualbelikan atau disewakan.
Berdasarkan hal di atas, orang-orang kapitalis Barat menganggap pengetahuan individu sebagai ‘harta’ yang boleh dimiliki dan bagi orang yang diajar atau mendapat pengetahuan tersebut tidak dibolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik dan ahli warisnya, sesuai dengan standard-standard tertentu. Contohnya, jika seseorang membeli buku atau disket yang mengandungi pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya sahaja, seperti membaca atau mendengarnya. Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain seperti mencetak dan menyalin untuk dijualbelikan atau disewakan.
Sebagaimana dijelaskan
diatas bahwa ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan
keaslian dalam lapangan ilmu penetahuan, seni atau sastra (Pasal 1 butir 3).
Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak (Pasal
1 butir 4). Dari ketentuan diatas terlihat, bagi seseorang yang telah memenuhi
syarat yang telah ditentukan oleh UUHC, mempunyai hak khusus terhadap satu
hasil karya cipta. Sebagai hak khusus pencipta atau pemegang hak cipta
mempunyai hak enam diantaranya ialah:
- Memperbanyak Ciptaanya, artinya pencipta atau pemegang hak cipta dapat menambah jumlah ciptaan dengan perbuatan yang sama, hampir sama atau menyerupai ciptaan-ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama termasuk mengalih wujudkan ciptaan.
- Mengumumkan Ciptaan, artinya pencipta atau pemegang hak cipta dapat menyiarkan dengan menggunakan alat apapun, sehingga ciptaan dapat didengar, dibaca atau dilihat oleh orang lain.
- Memperbanyak Haknya, artinya hak cipta sebagai hak kebendaan, maka pencipta atau pemegang hak cipta dapat menggugat pihak yang melanggar hak ciptaannya.
2.5Hukum Penjualan Hak
Cipta.
Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak
cipta itu menurut syari'at terpelihara. Para pemiliknya bebas memperlakukan hak
cipta itu sekehendak mereka. Tak seorang pun yang berhak melanggarnya, namun
dengan syarat, jangan sampai dalam karya-karya tulis itu ada yang melanggar
syari'at Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari Lembaga
Pengkajian Fiqih Islam yang lahir dari Organisasi Muktamar Islam pada pertemuan
kelima di Kuwait tahun 1409 H, bertepatan dengan tahun 1988 M.
Seorang penulis berhak memberikan atau tidak memberikan
hak cetak. Dia juga yang berhak membatasi jumlah oplah yang akan dicetak.
Penerbit yang mencetak dan memasarkan buku tersebut hanya berfungsi sebagai
wakil dari penulis untuk memenuhi hak-haknya dari pihak yang berhak mengambil
keuntungan.
Dalil-dalil Syariat yang Menunjukkan Sahnya Menjual
Hak-hak Cipta, antara lain:
a) Dalil mencari kemaslahatan. Pendapat yang menyatakan
bahwa hak cipta penulisan itu bernilai dan layak dipasarkan dapat melanggengkan
kemaslahatan umum. Dalam arti, dalam diharapkan keberlanjutan pengkajian ilmiah
dan mendorong para ulama dan ahli ijtihad untuk melanjutkan penelitian mereka,
sementara tulisan dan hak cipta mereka tetap terpelihara dari permainan orang
yang tidak bertanggung-jawab. Syari'at Islam diturunkan untuk merealisasikan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Dimana ada kemaslahatan, di situ ada
ajaran Islam.
b)
Kebiasaaan terjadinya persoalan ini dan kesepakatan kaum Muslimin
melakukannya merupakan dalil bahwa mereka sudah mengetahui dibolehkannya urusan
itu. Jelas bahwa kebiasaan itu memiliki pengaruh pada hukum syari'at, kalau
tidak bertentangan dengan nash. Karya ilmiah itu memiliki nilai jual
secara terpisah, tidak berkaitan dengan intelektualitas penulisnya. Itu
merupakan hak yang permanen, bukan sekedar hak semata. Berarti hak itupun bisa
berpindah dan bisa dijual-belikan, bila dirusak atau dihilangkan, harus
dipertanggung-jawabkan dan diberi ganti rugi.
c)
Pendapat yang dinukil dari sebagian ahli hadits yang membolehkan
mengambil upah dalam menyampaikan atau mengajarkan hadits. Para ulama ahli
hadits biasanya membolehkan siapa saja yang mereka kehendaki untuk meriwayatkan
hadits-hadits mereka, dan melarang sebagian lain yang tidak mereka kehendaki,
bila orang-orang tersebut dianggap tidak memiliki kompetensi di bidang
periwayatan. Dari sebagian ulama ahli hadits juga diriwayatkan dibolehkannya
mengambil upah dalam mengajarkan hadits, diqiyaskan dengan dibolehkannya
mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an.
Ibnu Shalah menyatakan; “Barangsiapa mengambil upah
dari mengajarkan hadits, riwayatnya menjadi tidak bisa diterima menurut
sebagian imam ahli hadits.”
Sementara Abu Nuaim al-Fadhal bin Dzukain dan 'Ali bin
'Abdul-'Aziz al-Makki dan para ulama lainnya masih membolehkan mengambil upah
dari penyampaikan hadits, karena serupa dengan mengambil upah dari mengajarkan
al-Qur'an dan sejenisnya. Hanya saja dalam kebiasaan ahli hadits hal itu
dianggap merusak citra. Bahkan pelakunya bisa dicurigai, kecuali bila ada
alasan tertentu yang mengiringinya sehingga bisa dimaklumi. Seperti yang
disebutkan bahwa Abul-Husain bin an-Naqur melakukan perbuatan itu karena Abu
Ishaq memberikan fatwa dibolehkannya mengambil upah dari mengajarkan hadits.
Kalau kebiasaan para ulama pada masa itu menganggap mengambil
upah dari mengajarkan hadits itu termasuk perusak citra, sekarang kebiasaan
sudah berubah karena perbedaan zaman dan tempat. Sehingga hukum yang didasari
kebiasaan tersebut juga bisa berubah.
d.) Qiyas seorang
produsen atau pembuat barang bisa menikmati hasil karyanya, memiliki kebebasan
dan kesempatan untuk orang lain memanfaatkannya atau melarangnya. Maka demikian
juga seorang penulis, karena ia telah menyatukan antara membuat dengan
memproduksi satu karya ilmiah, telah berkonsentrasi dan mengerahkan waktu serta
tenagannya untuk tujuan itu.
e.) Kaidah saddudz-dzara-i' (menutup jalan menuju haram).
Karena pendapat yang menyatakan dibolehkannya menjual hak cipta penulisan
mengandung upaya memberikan dorongan bagi para pemikir dan para ulama untuk semakin
produktif dan semakin giat melakukan penelitian ilmiah. Bahkan juga bisa
memompa semangat mereka untuk menciptakan hal-hal baru dan melakukan reformasi.
Apalagi mereka atau sebagian besar mereka hanya memiliki bidang ilmiah itu
sebagai sumber penghasilan mereka. Menggugurkan nilai jual dari karya tulis itu
sendiri bisa menyebabkan mereka meninggalkan pekerjaan tersebut dan beralih ke
pekerjaan lain untuk menjadi sumber penghidupan mereka. Hal itu tentu saja
menyebabkan umat kehilangan kesempatan mendapatkan hasil dari karya mereka,
bahkan menyebabkan matinya gairah untuk menulis pada banyak kalangan peneliti
ilmiah. Jelas yang timbul adalah kerusakan yang besar.
f.) Dasar ditetapkannya nilai jual adalah adanya mutu yang dibolehkan
syari'at. Mutu dari karya ilmiah bagi umat masa kini dan masa mendatang amat
jelas sekali. Kalau para ulama telah mengakui nilai jual dari berbagai
fasilitas yang lahir dari sebagian jenis hewan, seperti ulat misalnya, atau
kicauan burung, suara beo misalnya, manfaat atau fasilitas yang berasal dari
karya tulis tentu lebih layak lagi memiliki nilai jual. Manfaat yang seharusnya
dinikmati oleh pemiliknya. Manfaat itu lebih layak diperhatikan, karena lebih
besar hasilnya dan lebih banyak faedahnya.
Dan dengan diklasifikasikannya pelanggaran terhadap hak cipta
sebagai tindak pidana biasa, berarti tindakan negara terhadap para pelanggar
hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak
cipta. Tindakan negara akan dilakukan baik atas pengaduan pemegang hak cipta
yang bersangkutan maupun atas dasar laporan atau informasi atau pihak lainnya.
Karena itu aparatur penegak hukum diminta untk besifat lebih aktif dalam
mengatasi pelanggaran hak cipta itu.
Dalam UUHC pasal 3 disebutkan sebagai berikut :
(1) Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.
(2) Hak cipta dapat beralih atau dialihakan baik seluruh maupun
sebagian karena : (1) Pewarisan, (2) Hibah, (3) Wasiat, (4) Dijadikan milik
negara.
Katya cipta merupakan kemaslahatan umum yang hakiki. Oleh sebab
itu, maka hak para penciptanya perlu dilindungi dengan Undang-undang dalam
rangka menjaga hk dn kepentinganya dan demi menegakkan kedilan ditengah
masyarakat. Penalaran ini sesuai dengan jiwa dan tujuan syari'at untuk mengambil
maslahat dan menolak madlarat.
2.6
Hukum Pelanggaran Hak Cipta.
Hak cipta merupakan salah satu objek yang dilindungi oleh Hak kekayaan
intelektual, berdasarkan Undang- Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Undang- undang mengatur mengenai pelanggaran atas hak cipta. Di
dalam UU No. 19 Tahun 2002 ditegaskan bahwa suatu perbuatan dianggap
pelanggaran hak cipta jika melakukan pelanggaran terhadap hak eksklusif yang
merupakan hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
dan untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya ciptanya. Sehingga berdasarkan
ketentuan undang- undang ini, maka pihak yang melanggar dapat digugat secara
keperdataan ke pengadilan niaga. Hal ini sebagaimana dibunyikan pada ketentuan
Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3) sebagai berikut:
(1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
(2) Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
(3) Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
(1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
(2) Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
(3) Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Sementara
itu dari sisi pidana pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta dapat dikenai
sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Maksimal pidana
penjara selama 7 tahun dan minimal 2 tahun, sedangkan pidana dendanya maksimal
Rp. 5 miliar rupiah dan minimal Rp. 150 juta rupiah
Contoh
pelanggaran Hak Cipta yaitu adanya pelanggaran Hak Cipta yang dilakukan oleh
negara Malaysia. Setelah gagal mengklaim lagu Rasa Sayange, Malaysia mencoba
mengklaim kesenian yang lain yaitu kesenian rakyat Jawa Timur: Reog Ponorogo
yang diklaim Malaysia sebagai kesenian mereka. Kesenian Wayang Kulit yang
mereka klaim tidak mengubah nama “Reog”, mungkin karena diikuti nama daerah
Ponorogo maka namanya diubah menjadi “Tarian Barongan”. Padahal wujud Reog itu
bukan naga seperti Barongsai tapi wujud harimau dan burung merak yang sama
seperti Reog Ponorogo. Malaysia kesulitan mencari nama baru sehingga memilih
yang mudah saja, yaitu Tarian Barongan. Bukan itu saja, kisah dibalik tarian
itupun diubah. Hal ini sama seperti ketika Malaysia mengubah lirik lagu Rasa
Sayange. Kalau saja mereka menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut
maka tidak akan ada yang protes.
Padahal
apa susahnya mencantumkan nama asli dan bangsa pemiliknya. Seperti yang mereka
lakukan pada kesenian Kuda Kepang yang kalau di Indonesia lebih dikenal dengan
nama Kuda Lumping. Malaysia mencantumkan nama asal kesenian Kuda Kepang dari
Jawa. Kenapa tidak dilakukan pada kesenian yang lain seperti Reog Ponorogo,
Wayang Kulit, Batik, Angklung, Rendang dan lain-lain.
Sebenarnya ada puluhan budaya yg
telah diklaim oleh negara sebelah. Dan berikut ini daftarnya :
1.
Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia.
2.
Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia.
3.
Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia.
4.
Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah
Malaysia.
5.
Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia.
6.
Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia.
7.
Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia.
8.
Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia.
9.
Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia.
10. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa
Tenggara oleh Pemerintah Malaysia.
11. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh
Pemerintah Malaysia.
12. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah
Malaysia.
13. Musik Indang Sungai Garinggiang
dari Sumatera Barat oleh Malaysia.
14. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia.
15. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah
Malaysia
Malaysia telah melanggar Hak Cipta
yaitu menggunakan budaya asli Indonesia dengan mengganti nama, cerita, namun
kebudayaan tersebut sesungguhnya berasal dari Indonesia. Pelanggaran Hak Cipta
yang telah dilakukan oleh Negara Malaysia dapat dikenakan tindak pidana ataupun
perdata. Sebenarnya, hal ini dapat dicegah jika Malaysia mencantumkan nama asli
dan bangsa pemilik dari kebudayaan yang dipertunjukkan.
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a)
Hak Cipta adalah “Hak eksklusif Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau
informasi tertentu”.
b)
Hak cipta ada dua, yaitu: Hak eksklusif, Hak ekonomi dan hak moral.
c)
Hukum islam memandang hak cipta sebagai suatu langkah
untuk melindungi karya seseorang, karena hal itu dianggap sebagai bagian dari
harta.
d)
Undang-undang Hak Cipta
yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut dimesti memberikan hak kepada
individu untuk melindungi hasil ciptaannya serta melarang orang lain untuk
memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak
tersebut dan mengenakan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya dengan
hukuman penjara sehingga puluhan tahun, baik ketika penciptanya masih hidup
atau telah mati.
e)
Para ulama’ kontemporer sepakat bahwasanya penjualan hak
cipta itu diperbolehkan dengan beberapa alasan atau dalil sebagai berikut:
ü Dalil mencari kemaslahatan.
ü Kebiasaaan terjadinya persoalan ini dan kesepakatan
kaum Muslimin melakukannya merupakan dalil bahwa mereka sudah mengetahui
dibolehkannya urusan itu.
ü Terdapat sebagian ahli hadits yang membolehkan
mengambil upah dalam menyampaikan atau mengajarkan hadits.
f)
Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak cipta dapat
digugat secara keperdataan ke pengadilan niaga. Hal ini sebagaimana dibunyikan
pada ketentuan Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3).
DAFTAR
PUSTAKA
Junus,
E., Aspek Hukum dalam Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Teori dan Praktek,
2003, Bandung: CV. Rajawali.
Al-jauziyah,
Ibnu Qoyyim. 2008. I’lam al-muwaqqi’in al-‘alamin, Beirut: baral jiel
HMN,
Purwosutjipto. 1998. Pengertian Hukum dagang Indonesia, Jakarta: Jambatan
Hasybi
ash shidieq, T.M. 1975. Fikih Islam Mempunyai Daya Elastic, Lengkap, Bulat, dan
tuntas, Jakarta: Bulan Bintang
http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/doeviewer.php?id=288&filename=uu_no_19_th_2002.pdf.
http://dspace.unimap.edu.my/dspace/bitstream/123456789/10411/1/Hakcipta%20dan%20Hak%20Moral.pdf
[1] Lebih lanjut lihat an Nawawi , Majmu’ 9/227-240.
Bandingakan Ibn Abidin , Majmuat ar rosail , 2/125.
[2] Telaah lebih
lanjut tentang ini dalam tulisan Dr. Said romadlon al buthi dalam majalah
Majma’ al Fiqih al Islami atau dalam Qodloya Fiqhiyyah Muashiroh