Selasa, 16 September 2014

RELEVANSI MODEL PEMBELAJARAN TA’LIM MUTA’aliM DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MODERN



RELEVANSI MODEL PEMBELAJARAN TA’LIM MUTA’aliM DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MODERN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Model dan Strategi Pembelajaran
Dosen Pengampu :
Saeful Anam, M. Pdi



 







Oleh :
Siti Muzasaroh

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA)
SUCI  MANYAR GRESIK
2013

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap di limpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Ilahi Rabbi, karena-Nya makalah yang berjudul “” dapat terselesaikan.
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa lain dapat memahami secara mendalam tentang hal-hal yang dapat berkaitan dengan materi yang ada dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kepada para pembaca, para pakar, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, meski penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, dengan keterbatasan wawasan dan referensi, kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terkhusus bagi kami sendiri dan umumnya bagi semua pihak.



Gresik, 6 April 2014

Pemakalah





DAFTAR ISI

Cover ...............................................................................................................
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.    Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah ...........................................................................
C.  Tujuan..............................................................................................
D.  Manfaat................................................................................................
BAB II  : PEMBAHASAN ...............................................................................
A.    Biografi Syekh az Zarnuji.....................................................................
B.     Pengertian Belajar...................................................................................
C.     Tujuan Belajar.......................................................................................
D.    Konsep Belajar.....................................................................................
E.     Relevansi.................................................................................................

BAB III : PENUTUP .............................................................................................
3.1  Kesimpulan...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan  Kitab Ta’lim al-Muta’llim. Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis Madjid mengatakan,  bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.[1]  Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi penulis bahwa pertama,  kitab ini telah memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, kedua, ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan ketiga, semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam.
Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun adalah untuk memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat, Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada umumnya konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan mengajar itu adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka kelak akan diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya. Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free). Maka cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Kebajikan dan akhlak yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah terwujudnya insan kamil, yang pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not an end). [2]





PEMBAHASAN

A.    Biografi Pengarang Ta’lim muta’alim
Pengarang kitab Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum adalah Syekh  al-Zarnuji,   yang nama lengkap beliau adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yaitu al-Zarnuji ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim al-Muta’lim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim T}ariq al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Syeikh Zarnuji hidup di daerah Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi. Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab Syafi’i.
Tentunya kitab ini tidaklah asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah, sebab kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qamus Islam[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma wara’a al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
Dalam kitabnya secara implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.[10]

B. Pengertian
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, tidaklah dijelaskan secara definitif  mengenai arti belajar, akan tetapi beliau hanya menjelaskan, bahwa belajar (menuntut ilmu) merupakan sebuah kewajiban yang telah disyari’atkan oleh agama, baik melalui al-Qur’an aupun al-Hadits, melalui proses pengajaran yang bersifat Ilahiyah maupun Basyariyah. Menurut al-Zarnūji belajar bukanlah seperti apa yang dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses usaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Dan bukan pula seperti yang dirumuskan oleh H.M. Arifin yang menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan dalam menerima, menanggapi serta menganalisa bahan yang disajikan oleh pengajar sehingga memperoleh kemampuan menguasai bahan pelajaran. Juga tidak sesederhana seperti yang dirumuskan oleh Wolfok dan Nicolich yang mengatakan bahwa belajar adalah perubahan internal pada seseorang dalam bentuk formulasi asosiasi baru, atau potensial baru.
            Menurut beliau belajar adalah bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi-ukhrawi, karenanya belajar menurut al-Zarnūji harus diniati untuk mencari ridlo Alloh, kebahagiaan akherat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat Akal dan menghilangkan kebodohan (al-Zarnūji, ttp: 10).
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara konsep belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnūji dengan para ahli psikologi pendidikan tersebut. Belajar menurut al-Zarnūji bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi semata sebagai tujuannya, tetapi juga mencakup dimensi ukhrowi.
            Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Terlebih hasil dari proses belajar mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya benar-benar dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena buah dari ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu itu hendaknya dalam koridor keridloan Alloh, untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnūji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dan menurut hemat penulis, disinilah letak kelebihan pandangan belajar al-Zarnūji. Karena konsep yang demikian ini tidak dimiliki oleh para ahli psikologi pendidikan lainnya.
Jika kemudian muncul persepsi, bahkan tudingan oleh sementara orang, yang menyatakan kalau pemikiran ataupun pandangan al-Zarnūji tersebut mengakibatkan terjadinya dikotomi ilmu, penulis rasa hal tersebut tidak beralasan. Karena dalam lembaran kitab Ta’lim al-Muta’allim memang dapat kita jumpai pandangan al-Zarnūji mengenai kewajiban belajar, dimana disana beliau membagi hukum mempelajari ilmu, diantaranya ada ilmu yang hukumnya wajib ‘ain untuk dipelajari, wajib kifayah, haram dan sebagainya. Namun kesemuanya itu apabila dipahami secara integral, menurut hemat penulis, didalamnya tidak ada upaya untuk mendikotomikan ilmu.

C. Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Dan tujuan pendidikan sendiri di sini adalah suatu kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya perlu menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya karena ia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala  aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang . Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifat fundamental, seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kualitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada intinya bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu sendiri dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan dapat menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar.
Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah pertama, agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, kedua, agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, ketiga,supaya manusia kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, keempat, supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11] Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu Pertama, untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.  Kedua, untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat.  Ketiga, untuk persiapan mencapai rezeki dan  pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. Keempat, Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, kelima, untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم متهتك       *          وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه     * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل     *  وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي *  فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni Pertama, ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi). Kedua, sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi. Ketiga, sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia. Keempat  mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental.
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada  hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia  melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan: tujuan, ruang lingkup dan pembagian ilmu. Maka berdasar  tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muhafiz (religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-zarai’iy (pragmatis instrumental.[19] Disini Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup.

D.      Konsep

Konsep pendidikan az- Zarnujiy tertuang dalam karya monumentalnya yakni kitab “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya monumental yang sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja, akan tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
            Keistimewaan lain dari kitab Ta’lim Muta’allim ini terletak pada materi yang terkandung didalamnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membahas metode belajar, sebenarnya esensi dari kitab ini juga mencakup tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral religius. Kitab ini tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai belahan dunia, baik di Timur maupun di Barat.
            Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:
1.        Hakikat ilmu dan keutamaannya
Belajar itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, menurut Az zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu dperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[20]
            Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
            Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.
            Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut Az Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardlu kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardlu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardlu kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.[21]
            Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang              kelembutan-kelembutan ilmu. Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai berikut:
Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.      
2.        Niat belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah.
     Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[22]
3.        Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu memilih      ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah. Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”
Di samping itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting, tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.[23]
4.        Menghormati ilmu dan ulama
Menurut Az Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah.
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci. Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.
5.        Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang memberkahi.
Peserta didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan  minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6.        Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Hendaknya belajar dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Menurut Az zarnuji diskusi juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Karena manfaat diskusi lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Hendaknya peserta didik membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7.        Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Hendaknya peserta didik bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Karena perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
8.        Saat terbaik untuk belajar
Masa belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Dan adapun masa yang paling baik untuk belajar adalah pada awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
9.        Kasih sayang dan memberi nasehat
Hendaknya orang alim memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Karena dengan demikian orang yang benci akan luluh dengan sendiri. Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
10.    Mengambil pelajaran
Hendaknya peserta didik memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, sehingga dapat mencapai keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya.
Az zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11.    Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
Hendaknya di waktu belajar peserta didik berlaku wara’, sebab dengan demikian ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ di antaranya adalah menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Di samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya peserta didik juga memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
12.    Penyebab hafal dan lupa
Yang sangat menunjang dalam kemudahan menghafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku dan saat selesai menulis.
Dan adapun penyebab mudah lupa di antaranya adalah perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13.    Masalah rezeki dan umur
Peserta didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat, sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Diantaranya adalah dengan bangun pagi-pagi, karena itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki. Kemudian banyak bersedekah juga bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun, wajib, sunnah dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya. Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang.

E.       Relevansi
Sebuah konsep, pada suatu masa, tempat, atau keadaan tertentu mungkin sesuai dengan semangat sosial saat itu, akan tapi terkadang pada waktu konsep itu diusung ke kebudayaan lain akan terkesan canggung dan merugikan dalam membangun sebuah realitas.
Begitupun buku karangan Syeikh Zarnuji sangatlah perlu untuk dikaji kembali dan kemudian di analisa, apakah sesuai dengan semangat membangun bagi pendidikan di pesantren Indonesia. Karena bagaimanapun juga sebuah konsep akan sangat mempengaruhi hasil dari proses belajar-mengajar tersebut.
 Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh az- Zarnujiy yang tertuang dalam karya monumentalnya yakni, Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum relatif bagus. Hanya saja ketika mempelajari konsep pendidikan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim harus disertai dengan pemahaman yang dalam, karena belum tentu apa yang dikonsepsikan oleh Az Zarnuji dapat pula diterapkan pada saat ini. Seperti membaca tulisan pada nisan dapat menyebabkan lupa, menyapu di malam hari dapat menghambat rizki. Hal-hal tersebut sudah tidak bisa lagi diterapkan karena sudah dipandang tidak logis.
            Sebenarnya jika dikaji lagi banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.
            Maka jika kitab ini dikaji di pesantren, agar tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan sebaiknya diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga bila memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan masa        Az Zarnuji hidup.
            Karya besar ini sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah luar pesantren baik itu madrasah atau sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisis konsep pendidikan Az Zarnuji cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
Dalam metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan Ta’lim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Pada dasarnya pendidikan yang berhasil bukanlah diciptakan oleh sekolah ataupun pesantren, akan tetapi dukungan dari semua pihak yaitu orang tua dan guru sebagai teladan dan lingkungan sebagai pengaruh pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan hal ini memang sangat sulit sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah namun hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun hasanah.
Kalaupun misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Ta’lim Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
            Kontekstualisasi terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran Az zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa Ta’lim Muta’alim adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep. Namun secara kualitatif memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab Ta’lim Muta’alim masih sangat relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.












BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
. Syeikh Zarnuji hidup di daerah Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi. Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab Syafi’i.
Pengertian belajar menurut az Zarnujiy yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Adapun dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya.
Tujuan pendidikan  al-Zarnuji berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.
Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain: (1) Hakikat ilmu dan keutamaannya; (2) Niat belajar; (3) Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7) Tawakkal kepada Allah SWT; (8) Saat terbaik untuk belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasehat; (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar; (12) Penyebab hafal dan lupa; (13) Masalah rezeki dan umur.
Banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.



















DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press.
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media
Ahmad Athiyatullah, Qamus Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.
Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2,  April, 1991.
Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”,  Majalah Rindang, XIX, No. 9,  April 1994.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,”  Pesantern, Vol.III, No. 3,  Februari, 1986.
Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy, Muqaddimah fi Usulih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqlaniyah, Kuwait: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.
Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah al-Insan al-Jadid, Tunisia:  Al-Syirkah al-Tunisia Thurnisiyah Littauzi, 1967
Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.














[1]  Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”,  Majalah Rindang, XIX, No. 9 (April 1994),  p. 44
[2]  Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia  dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam,  I, No. 2  (April, 1991), h. 31-32.
[3] Syekh Ibrahim bin Ismail, al-Syarh Ta’lim  al-Muta’llim, (Indonesia: Maktabah Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt),  p.1.
[4]   Ahmad Athiyatullah, Qamus Islami, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970), Jilid ke-3,  p. 58-59.
[5] Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugoh wa al-‘A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), p. 337.
[6]  Ahmad Athiyatullah, Qamus, p. 58
[7]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), p. 155
[8]  Ibid., p. 155.
[9]  Ahmad Athiyullah, Qamus,  p. 58
[10]  Ali Musthafa Yaqub, “Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, No.3 Vol.III, No. 3 (Februari, 1986), p. 79.
[11] Muhammad Faadhil al-Jamaly, Tarbiyah al-Insan al-Jadid, (Tunisia: Al-Syirkah al-Thurnisiyah Littauzi, 1967), p. 99.
[12] Syed Muhammad al-Naqueib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah:  King Abdul Aziz University, 1979), p. 1.
[13] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha, (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Pabi wa Syurakah, 1975), p. 22-25.
[14] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim  al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum, (Indonesia: Dar  Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  p. 10
[15] Ibid.
[16] Ibid., p. 11.
[17] Ibid.
[18] Syaibani al, Omar Mohammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), p. 399.

[19]  Ridha, Muhammad Jawwad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy, Muqaddimah fi Usulih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqlaniyah, (Kuwait: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1980), h. 55-92.

[20]  Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press, hal. 268
[21]  Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, op. Cit., hal. 53
[22]  Ibid., hal. 54
[23]  Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, op. Cit., hal 272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar