RELEVANSI MODEL PEMBELAJARAN TA’LIM MUTA’aliM DENGAN MODEL
PEMBELAJARAN MODERN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Model dan Strategi Pembelajaran
Dosen Pengampu :
Saeful Anam, M. Pdi
![]() |
Oleh :
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
INSTITUT KEISLAMAN
ABDULLAH FAQIH (INKAFA)
SUCI MANYAR GRESIK
2013

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat serta
salam semoga tetap di limpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada
Ilahi Rabbi, karena-Nya makalah yang berjudul “” dapat terselesaikan.
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa lain dapat memahami secara
mendalam tentang hal-hal yang dapat berkaitan dengan materi yang ada dalam
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kepada para pembaca, para pakar, penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, meski penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna, dengan keterbatasan wawasan dan referensi, kami berharap semoga
makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terkhusus bagi kami sendiri dan
umumnya bagi semua pihak.
Gresik, 6 April 2014
Pemakalah
DAFTAR
ISI
Cover ...............................................................................................................
Kata
Pengantar........................................................................................................ ii
Daftar
Isi ................................................................................................................. iii
BAB I :
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ...........................................................................
C. Tujuan..............................................................................................
D. Manfaat................................................................................................
BAB
II : PEMBAHASAN ...............................................................................
A.
Biografi Syekh az Zarnuji.....................................................................
B.
Pengertian
Belajar...................................................................................
C.
Tujuan Belajar.......................................................................................
D.
Konsep Belajar.....................................................................................
E.
Relevansi.................................................................................................
BAB III
: PENUTUP .............................................................................................
3.1 Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dampak dari perkembangan ilmu dan
teknologi, juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses
peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran
praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem
pendidikan sebenarnya berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis
pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang
dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan
pada pembahasan Kitab Ta’lim al-Muta’llim. Warisan intelektual
muslim ini penting dikaji ulang, karena ternyata pemikirannya tersebut relevan
diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai
akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis Madjid mengatakan,
bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan
merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya yang telah
berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan
pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk
memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari
secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.[1] Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi
penulis bahwa pertama, kitab ini telah
memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, kedua,
ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan
ketiga, semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam
karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam
dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan
Islam.
Dalam dunia pendidikan Barat
proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan
dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun adalah untuk memperoleh
kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu
berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan
haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai
khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan
Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar
tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan pandangan hidup
Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek belajar pun adalah
sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat, Islam mengajarkan bahwa
aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu amal ibadah, berkaitan erat
dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada umumnya konsep pendidikan Barat
beranggapan bahwa masalah belajar dan mengajar itu adalah semata-mata urusan
manusia, sedangkan Islam mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak
makhluk lainnya pada setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka
kelak akan diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya.
Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah kehidupan
sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan dunia, sekarang
dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Belajar
tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi juga untuk
kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan Barat pada
umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli Barat yang
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free). Maka
cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Kebajikan dan akhlak
yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada umumnya
tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia secara
maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat. Sedangkan
tujuan akhir pendidikan Islam ialah terwujudnya insan kamil, yang
pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not
an end). [2]
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pengarang Ta’lim
muta’alim
Pengarang kitab Ta’lim
al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum adalah Syekh al-Zarnuji, yang nama lengkap
beliau adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam
Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yaitu al-Zarnuji
ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin
al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4]
Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan
termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia
dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim al-Muta’lim.[6] Kitab
ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh
Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim T}ariq
al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli
syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria
al-Anshari.[7]
Syeikh Zarnuji hidup di daerah
Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi.
Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab
Syafi’i.
Tentunya kitab ini tidaklah asing
lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren
Salafiyah, sebab kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam
menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat
para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam
al-Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam
alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8]
Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan
kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qamus Islam[9],
bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di
kawasan sungai Tigris (ma wara’a al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
Dalam kitabnya secara implisit,
al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup
pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah
al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di
kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya
contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam
kitabnya.[10]
B. Pengertian
Dalam kitab
Ta’lim al-Muta’allim, tidaklah dijelaskan secara definitif mengenai arti belajar, akan tetapi beliau
hanya menjelaskan, bahwa belajar (menuntut ilmu) merupakan sebuah kewajiban
yang telah disyari’atkan oleh agama, baik melalui al-Qur’an aupun al-Hadits,
melalui proses pengajaran yang bersifat Ilahiyah maupun Basyariyah. Menurut
al-Zarnūji belajar bukanlah seperti apa yang dirumuskan oleh para ahli
psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses usaha untuk
memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Dan bukan pula
seperti yang dirumuskan oleh H.M. Arifin yang menyatakan bahwa belajar adalah
kegiatan dalam menerima, menanggapi serta menganalisa bahan yang disajikan oleh
pengajar sehingga memperoleh kemampuan menguasai bahan pelajaran. Juga tidak
sesederhana seperti yang dirumuskan oleh Wolfok dan Nicolich yang mengatakan
bahwa belajar adalah perubahan internal pada seseorang dalam bentuk formulasi
asosiasi baru, atau potensial baru.
Menurut beliau belajar adalah bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi-ukhrawi, karenanya belajar menurut al-Zarnūji harus diniati untuk mencari ridlo Alloh, kebahagiaan akherat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat Akal dan menghilangkan kebodohan (al-Zarnūji, ttp: 10).
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara konsep belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnūji dengan para ahli psikologi pendidikan tersebut. Belajar menurut al-Zarnūji bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi semata sebagai tujuannya, tetapi juga mencakup dimensi ukhrowi.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Terlebih hasil dari proses belajar mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya benar-benar dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena buah dari ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu itu hendaknya dalam koridor keridloan Alloh, untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnūji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Menurut beliau belajar adalah bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi-ukhrawi, karenanya belajar menurut al-Zarnūji harus diniati untuk mencari ridlo Alloh, kebahagiaan akherat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat Akal dan menghilangkan kebodohan (al-Zarnūji, ttp: 10).
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara konsep belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnūji dengan para ahli psikologi pendidikan tersebut. Belajar menurut al-Zarnūji bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi semata sebagai tujuannya, tetapi juga mencakup dimensi ukhrowi.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Terlebih hasil dari proses belajar mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya benar-benar dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena buah dari ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu itu hendaknya dalam koridor keridloan Alloh, untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnūji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dan menurut hemat
penulis, disinilah letak kelebihan pandangan belajar al-Zarnūji. Karena konsep
yang demikian ini tidak dimiliki oleh para ahli psikologi pendidikan lainnya.
Jika kemudian muncul persepsi, bahkan tudingan oleh sementara orang, yang menyatakan kalau pemikiran ataupun pandangan al-Zarnūji tersebut mengakibatkan terjadinya dikotomi ilmu, penulis rasa hal tersebut tidak beralasan. Karena dalam lembaran kitab Ta’lim al-Muta’allim memang dapat kita jumpai pandangan al-Zarnūji mengenai kewajiban belajar, dimana disana beliau membagi hukum mempelajari ilmu, diantaranya ada ilmu yang hukumnya wajib ‘ain untuk dipelajari, wajib kifayah, haram dan sebagainya. Namun kesemuanya itu apabila dipahami secara integral, menurut hemat penulis, didalamnya tidak ada upaya untuk mendikotomikan ilmu.
Jika kemudian muncul persepsi, bahkan tudingan oleh sementara orang, yang menyatakan kalau pemikiran ataupun pandangan al-Zarnūji tersebut mengakibatkan terjadinya dikotomi ilmu, penulis rasa hal tersebut tidak beralasan. Karena dalam lembaran kitab Ta’lim al-Muta’allim memang dapat kita jumpai pandangan al-Zarnūji mengenai kewajiban belajar, dimana disana beliau membagi hukum mempelajari ilmu, diantaranya ada ilmu yang hukumnya wajib ‘ain untuk dipelajari, wajib kifayah, haram dan sebagainya. Namun kesemuanya itu apabila dipahami secara integral, menurut hemat penulis, didalamnya tidak ada upaya untuk mendikotomikan ilmu.
C. Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah upaya belajar
dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Dan tujuan pendidikan sendiri
di sini adalah suatu kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan
keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar
dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah
individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang
dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi
merealisasikannya perlu menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting
artinya karena ia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan
segala aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai
tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses
belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut.
Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan
perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di
Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan
cerdas tahun sekarang . Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat
dengan nilai-nilai yang bersifat fundamental, seperti nilai moral dan nilai
agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kualitas takwa pada
orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan
pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada intinya bersumber pada
filsafat hidup suatu bangsa itu sendiri dan keyakinan dalam beragama. Maka
dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan
dapat menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar.
Menurut al-Jamaliy, tujuan
pendidikan Islam antara ialah pertama, agar seseorang mengenal statusnya di
antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka
di dunia, kedua, agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung
jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, ketiga,supaya manusia
kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam
menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, keempat, supaya
manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah
kepadanya.[11]
Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan
manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a
good man).[12]
Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam
yaitu Pertama, untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Kedua, untuk persiapan kehidupan dunia
dan akhirat. Ketiga, untuk
persiapan mencapai rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata,
tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum,
dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak
akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau
menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan.
Keempat, Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk
mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, kelima,
untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan
supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia
dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual
dan keagamaan.[13]
Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار
الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن
بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل
برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم
متهتك *
وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan
mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan
baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan
melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu.
Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil
perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi
orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan
orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak
layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به
اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن
الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari
atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan
supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan
mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu
dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari
sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji,
seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد
الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار
الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه * لنيل فضل من
العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat
mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki
orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari
membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia
akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang
mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut
al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan
keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung
tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر
وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف
والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير
فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل *
وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي * فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan
untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar
makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama
Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena
memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya,
supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena
itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia
yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia
ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang
yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli
dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh
dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada
tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu
tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan
professional.[18]
Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka
menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri
atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat
individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan
tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju
akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan
dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai
agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial.
Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari
tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu
tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu
mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan
professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah
menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan
yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara
keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan
ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk
itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan
akhirat menjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi
pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni Pertama, ilmu
untuk ilmu (kegemaran dan hobi). Kedua, sebagai penghubung memperoleh
kesenangan materi. Ketiga, sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan
peradaban mausia. Keempat mencari rida
Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral,
sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental.
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu
yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif
Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar
pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat
negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia
melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan: tujuan, ruang
lingkup dan pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha membagi aliran
utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muhafiz (religius
konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-zarai’iy
(pragmatis instrumental.[19] Disini
Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari
ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu,
etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari
ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius
rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara
pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini
membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis.
Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran
tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental,
memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi
pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan
dan fungsinya dalam hidup.
D.
Konsep
Konsep pendidikan az- Zarnujiy
tertuang dalam karya monumentalnya yakni kitab “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq
al-Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya monumental yang sangat
diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan penelitian
dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang
pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja, akan
tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
Keistimewaan lain dari kitab Ta’lim Muta’allim ini terletak pada materi
yang terkandung didalamnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan
hanya membahas metode belajar, sebenarnya esensi dari kitab ini juga mencakup
tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral
religius. Kitab ini tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga
dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai belahan dunia, baik di Timur
maupun di Barat.
Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di
setiap lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di
pondok pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui tentang
konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:
1.
Hakikat ilmu dan keutamaannya
Belajar itu
hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun
demikian, menurut Az zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam
ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan
yang selalu dperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Dan sebaik-baik
amal adalah menjaga hal-hal.[20]
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap
saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa
yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya
(misalnya berdagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara menghindari haram.
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti
tawakkal, ridla dan sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut Az Zarnuji juga
harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan
akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu
tertentu, hukumnya fardlu kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian,
seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardlu kifayah tersebut,
maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung
tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk itu menanggung dosa.
Dengan kata lain, ilmu fardlu kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai
suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu
astronomi, dan lain sebagainya.[21]
Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan
adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya
digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan
justru membawa marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan
mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh
seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya.
Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang
kelembutan-kelembutan
ilmu. Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair
sebagai berikut:
Belajarlah, karena ilmu adalah
hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji.
Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang
bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada
kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang
membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala
kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih
membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.
2.
Niat belajar
Mengenai niat
dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar
adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain,
mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah.
Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu
tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang
diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau
kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia
akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada
harta dunia.[22]
3.
Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
Peserta didik
hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan
agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan
ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu
memilih ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam memilih
pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan
penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada
pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta didik
hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami masalah.
Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah.
Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang
berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke neraka
Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”
Di samping
itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam
segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting,
tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan
diharuskan pelaksanaannya.[23]
4.
Menghormati ilmu dan ulama
Menurut Az
Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan
pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup
dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di
antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya,
tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di
depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan
tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa.
Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik
rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan
dengan agama Allah.
Termasuk
menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab.
Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam
keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci.
Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya
ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan,
yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di
kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa
hormat, selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan
padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk
menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan
pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta
mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan
agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap
sombong.
5.
Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta didik
harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara
kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib dan
isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang
memberkahi.
Peserta didik
jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu
berbuat sesuatu. Kesungguhan dan minat yang kuat adalah merupakan pangkal
kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk
menghafal sebuah kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan
mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6.
Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Hendaknya belajar
dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari
sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula
hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah
di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga
apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya
dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula
hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih
mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan.
Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi
berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu
bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Menurut Az
zarnuji diskusi juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Karena manfaat diskusi
lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain
mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar
diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang
membawa akibat negatif.
Hendaknya peserta
didik membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan
ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik
berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut
Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian
belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7.
Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar,
peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh urusan rezeki.
Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena
kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal,
badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya
peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Hendaknya peserta
didik bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Karena perlu disadari
bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab
mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih
utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi
kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi
segala kelezatan yang ada di dunia.
8.
Saat terbaik untuk belajar
Masa belajar
adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Dan adapun masa yang paling
baik untuk belajar adalah pada awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu
sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik
memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan
mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
9.
Kasih sayang dan memberi nasehat
Hendaknya orang
alim memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan berbuat dengki.
Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang
mulia. Karena dengan demikian orang yang benci akan luluh dengan sendiri.
Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu
hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
10. Mengambil
pelajaran
Hendaknya peserta
didik memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, sehingga dapat mencapai
keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat
hal-hal ilmiah yang diperolehnya.
Az zarnuji
mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta
didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan
waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu peserta didik
hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11. Wara’
(menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
Hendaknya di
waktu belajar peserta didik berlaku wara’, sebab dengan demikian ilmunya akan
lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan
yang termasuk perbuatan wara’ di antaranya adalah menjaga diri dari terlalu
kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang
tidak bermanfaat.
Di samping
itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan sunnah.
Hendaknya peserta didik juga memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara
khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya.
Dalam hal ini Az Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu
membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan
yang didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya
maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
12. Penyebab
hafal dan lupa
Yang sangat
menunjang dalam kemudahan menghafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi
makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat
Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku dan saat selesai menulis.
Dan adapun
penyebab mudah lupa di antaranya adalah perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah
karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13. Masalah
rezeki dan umur
Peserta didik
perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat,
sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Diantaranya adalah dengan bangun pagi-pagi, karena itu diberkahi dan membawa
berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki. Kemudian banyak bersedekah juga
bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki
adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun, wajib, sunnah dan
adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak
menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya. Terlalu berlebihan
dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah
menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang.
E.
Relevansi
Sebuah konsep, pada suatu masa,
tempat, atau keadaan tertentu mungkin sesuai dengan semangat sosial saat itu,
akan tapi terkadang pada waktu konsep itu diusung ke kebudayaan lain akan
terkesan canggung dan merugikan dalam membangun sebuah realitas.
Begitupun buku karangan Syeikh Zarnuji sangatlah perlu untuk dikaji kembali dan kemudian di analisa, apakah sesuai dengan semangat membangun bagi pendidikan di pesantren Indonesia. Karena bagaimanapun juga sebuah konsep akan sangat mempengaruhi hasil dari proses belajar-mengajar tersebut.
Begitupun buku karangan Syeikh Zarnuji sangatlah perlu untuk dikaji kembali dan kemudian di analisa, apakah sesuai dengan semangat membangun bagi pendidikan di pesantren Indonesia. Karena bagaimanapun juga sebuah konsep akan sangat mempengaruhi hasil dari proses belajar-mengajar tersebut.
Konsep
pendidikan yang ditawarkan oleh az- Zarnujiy yang tertuang dalam karya
monumentalnya yakni, Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum relatif
bagus. Hanya saja ketika mempelajari konsep pendidikan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim
Muta’allim harus disertai dengan pemahaman yang dalam, karena belum tentu
apa yang dikonsepsikan oleh Az Zarnuji dapat pula diterapkan pada saat ini.
Seperti membaca tulisan pada nisan dapat menyebabkan lupa, menyapu di malam
hari dapat menghambat rizki. Hal-hal tersebut sudah tidak bisa lagi diterapkan
karena sudah dipandang tidak logis.
Sebenarnya jika dikaji lagi banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk
diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau yang sudah tidak
relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu
saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja tanpa mencari
kebenarannya.
Maka jika kitab ini dikaji di pesantren, agar tidak menimbulkan akses yang
tidak diinginkan sebaiknya diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman
mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga bila memenuhi gagasan yang
dianggap kurang relevan dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi
atau merefleksikan dengan masa Az
Zarnuji hidup.
Karya besar ini sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah luar
pesantren baik itu madrasah atau sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui
dari analisis konsep pendidikan Az Zarnuji cukup banyak yang masih relevan dan
baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
Dalam
metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali
dimunculkan untuk menyudutkan Ta’lim adalah aspek kepatuhan pada guru
yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az Zarnuji sendiri tidak pernah
menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Pada dasarnya pendidikan yang
berhasil bukanlah diciptakan oleh sekolah ataupun pesantren, akan tetapi
dukungan dari semua pihak yaitu orang tua dan guru sebagai teladan dan
lingkungan sebagai pengaruh pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan
hal ini memang sangat sulit sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul
hasanah namun hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun
hasanah.
Kalaupun
misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Ta’lim Muta’allim, maka
pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang
yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau
juga pengaruh tradisi feodal kerajaan jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Kontekstualisasi terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang adalah
pemahaman terhadap pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada
religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam
pemikiran Az zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan
kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya
sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dam membina hubungan yang
harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang
etis-humanis.
Barangkali
oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan,
meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan
berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan
mengatakan bahwa Ta’lim Muta’alim adalah kerangka acuan hasil temuan atau
rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep. Namun
secara kualitatif memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan
dunia pendidikan yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja.
Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab Ta’lim Muta’alim
masih sangat relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini,
sepanjang format belum berubah.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
. Syeikh Zarnuji hidup di daerah
Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah Ma Warâ’a al-Nahar
(Transoxinia)[5]. Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab Hanafi. Selain
madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab Syafi’i.
Pengertian belajar menurut az
Zarnujiy yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu
menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan
pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Adapun
dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu
proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai
manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh
SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya.
Tujuan pendidikan al-Zarnuji berorientasi kepada tujuan ideal
dan tujuan praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia
berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar
sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh
kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan
di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci,
tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu
haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.
Konsep
pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain: (1) Hakikat ilmu dan
keutamaannya; (2) Niat belajar; (3) Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan
dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Sungguh-sungguh, kontinuitas
dan minat yang kuat; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;
(7) Tawakkal kepada Allah SWT; (8) Saat terbaik untuk belajar; (9) Kasih sayang
dan memberi nasehat; (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara’ (menjaga diri
dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar; (12) Penyebab hafal dan lupa;
(13) Masalah rezeki dan umur.
Banyak sekali
hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa
pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik
untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya
menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan
Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press.
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan
pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media
Ahmad Athiyatullah, Qamus
Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.
Tohari Musnamar, “Masalah
Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa
Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2, April, 1991.
Dwiki Setyawan dan Abdullah
Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”, Majalah Rindang,
XIX, No. 9, April 1994.
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika
Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, Vol.III, No. 3,
Februari, 1986.
Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr
al-Tarbawiy al-Islamiy, Muqaddimah fi Usulih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqlaniyah,
Kuwait: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Syabani al, Omar Mohammad
Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail,
Al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, tt.
Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah
al-Insan al-Jadid, Tunisia: Al-Syirkah al-Tunisia Thurnisiyah
Littauzi, 1967
Attas al, Syed Muhammad
al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul
Aziz University, 1979.
[1] Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah
Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”, Majalah Rindang, XIX, No. 9
(April 1994), p. 44
[2] Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi
Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2 (April, 1991), h. 31-32.
[3] Syekh
Ibrahim bin Ismail, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim, (Indonesia:
Maktabah Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), p.1.
[4] Ahmad Athiyatullah, Qamus Islami, (Mesir:
Maktabah Nahdlah, 1970), Jilid ke-3, p. 58-59.
[5]
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugoh wa al-‘A’lam, (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1975), p. 337.
[6] Ahmad Athiyatullah, Qamus, p. 58
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), p. 155
[8] Ibid., p. 155.
[9] Ahmad Athiyullah, Qamus, p. 58
[10] Ali Musthafa Yaqub, “Etika Belajar Menurut
Az-Zarnuji,” Pesantern, No.3 Vol.III, No. 3 (Februari, 1986), p. 79.
[11] Muhammad
Faadhil al-Jamaly, Tarbiyah al-Insan al-Jadid, (Tunisia: Al-Syirkah
al-Thurnisiyah Littauzi, 1967), p. 99.
[12] Syed
Muhammad al-Naqueib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education,
(Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), p. 1.
[13] Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha, (Mesir:
‘Isa al-Bab al-Pabi wa Syurakah, 1975), p. 22-25.
[14] Syekh
Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum,
(Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.), p. 10
[15] Ibid.
[16] Ibid.,
p. 11.
[17]
Ibid.
[18]
Syaibani al, Omar Mohammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj.
Hasan Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), p. 399.
[19] Ridha, Muhammad Jawwad, al-Fikr al-Tarbawiy
al-Islamiy, Muqaddimah fi Usulih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqlaniyah, (Kuwait: Dar
al-Fikr al-‘Arabiy, 1980), h. 55-92.
[20] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki
Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang:
UIN Press, hal. 268
Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.
BalasHapusSubhanallah atas pencerahan nya ilmu dan tata cara menuntut ilmu
BalasHapusTerimakasih banyak banyak
BalasHapusKEMBALI KASIH
Hapus